| 0 Comments | 60 Views
Aku datang bukan membawa tanya,
hanya ingin diam di hadapan sejarah yang bernapas lama.
Siang itu, angin Istanbul datang dari Selat Bosphorus, dingin tapi tak membekukan semangatku. Aku melangkah masuk ke dalam kompleks Topkapi, tapi bukan menuju singgasana para sultan. Tujuanku lebih sunyi, lebih dalam: ruang peninggalan Nabi Muhammad ﷺ, tempat benda-benda yang dulu pernah menyentuh tubuh dan kehidupan beliau disimpan. Satu ruang kecil yang sunyi tapi penuh gema: Museum Relikui Suci (Mukaddes Emanetler Dairesi) tempat di mana peninggalan Nabi ﷺ disimpan dalam diam dan takzim.
Topkapi sendiri adalah sebuah istana (dalam bahasa Turki: Topkapı Sarayı), karena dulunya merupakan kediaman resmi para Sultan Utsmani selama lebih dari 400 tahun. Namun, sejak tahun 1924, Topkapi diubah menjadi museum publik oleh Republik Turki.
Kembali ke Museum Relikui Suci (Mukaddes Emanetler Dairesi), suasana di dalam ruang itu sangat tenang. Suara-suara diredam, cahaya pun tidak terang. Seolah setiap orang tahu bahwa di tempat ini, yang paling layak dilakukan adalah diam. Di balik kaca pertama, aku melihat sehelai rambut Nabi. Satu helai saja, tipis dan halus. Tapi cukup untuk membuat hatiku bergetar. Bukan karena rambut itu istimewa secara lahir, tapi karena ia pernah menyatu dengan seseorang yang begitu dicintai oleh umatnya.
sehelai rambut Nabi Muhammad saw.
Di sisi lain, tampak tongkat kayu beliau ﷺ. Tak ada ukiran, tak ada hiasan. Hanya kayu tua yang tampak ringan. Tapi justru kesederhanaannya membuatku terdiam lebih lama. Tongkat ini pernah menemani perjalanan-perjalanan panjang Nabi—dari medan dakwah, safar, hingga ibadah.
Kemudian aku melihat pedang yang disebut Dhu al-Faqar. Tidak besar, bahkan bisa dibilang biasa saja. Tapi di sini, pedang itu tak tampil sebagai senjata, melainkan sebagai saksi. Ia hadir dalam perang-perang defensif, bukan agresi. Pedang itu bercerita tanpa suara, bahwa kadang kebaikan pun harus dijaga dengan kekuatan.
Yang menarik perhatianku berikutnya adalah bejana air, yang dipercaya sebagai tempat wudu Nabi. Bejananya sederhana, terbuat dari logam. Tapi membayangkan air menyentuhnya, lalu membasuh wajah yang sering bersujud, membuat benda itu terasa lebih hidup. Dalam keheningan, aku teringat bahwa dari wudu yang tampak sederhana, lahirlah kesucian yang membentuk umat. Aku berhenti cukup lama di depan bejana air yang disebut-sebut pernah digunakan Nabi. Di kaca pantulannya, aku melihat wajah sendiri, dan tiba-tiba muncul pertanyaan: Seandainya aku hidup di zamannya, berani tidak aku minum dari bejana yang sama? Berani tidak aku bilang “aku bersaksi”?
Aku juga melihat surat-surat asli Nabi yang ditulis kepada para raja. Ada untuk Heraklius, raja Romawi Timur. Ada pula untuk Muqawqis dari Mesir, dan Kisra Persia. Surat-surat itu pendek, padat, dan penuh ajakan yang sopan. “Masuklah Islam, engkau akan selamat,” begitu bunyinya. Tulisan tangan Arab klasik itu mungkin sudah buram, tapi isinya tetap tegas dan terang. Dan, dari surat-surat ini pulalah, tugas akhir karya ilmiahku tercipta, yang akhirnya mengantarkanku ke tempat surat-surat ini bersemayam.
Tidak jauh dari sana, ada bendera perang, juga beberapa cap stempel pribadi Nabi. Semua benda itu tertata rapi, tidak mewah, tapi terasa dijaga dengan sangat hormat. Bukan sebagai simbol kekuasaan, melainkan sebagai warisan jiwa.
Manuskrip surat Nabi Muhammad
Ada juga tongkat Nabi Musa, pedang Nabi Daud, dan kunci Ka'bah. Peninggalan para nabi—yang diutus untuk zaman dan umat berbeda—berkumpul di satu ruangan ini, seperti menyambung tongkat estafet sejarah kenabian yang tak pernah putus. Rasanya, Topkapi bukan lagi istana, tapi lembar tafsir visual dari sebuah silsilah ilahi.
Yang paling mengena bagiku adalah suasana. Tidak ada musik, tidak ada narasi digital, hanya lantunan ayat Al-Qur’an yang diputar pelan, dan pengunjung yang bergerak perlahan. Di tempat ini, aku tidak merasa sedang belajar sejarah. Aku merasa sedang menyentuhnya. Beberapa orang di sekitar menangis. Bukan karena ruangan ini mistis, tapi karena ia terlalu manusiawi. Ia membawa kita mengingat bahwa orang-orang yang kita kenang itu pernah hidup, berjalan, berperang, memaafkan, mencintai, dan menangis juga.
Waktu berjalan lambat di dalam sana. Aku tak ingin buru-buru. Beberapa turis memotret lalu pergi, tapi aku memilih berdiri lebih lama. Bukan untuk menghafal, tapi untuk merasa.
Saat akhirnya aku keluar dari ruangan itu, Istanbul terasa sedikit berbeda. Langit masih sama, angin masih dingin, tapi dadaku hangat. Bukan karena keajaiban, tapi karena aku merasa sudah bersentuhan dengan sesuatu yang benar-benar nyata: sisa kehidupan seseorang yang telah membawa cahaya ke dunia.
Pada peninggalan yang diam kutemukan suara,
bahwa agama ini pernah hidup dari tubuh dan luka.
Leave a Comment