| 0 Comments | 3957 Views

Card Image

A. Pengantar

Michel Foucault (1926-1984) adalah salah satu filsuf penting abad ke-20 yang pemikirannya sampai hari ini masih relevan dipakai untuk memahami fakta sosial di masyarakat, sekaligus juga masih menjadi bahan perdebatan. Sebagian pendapat memasukkan pemikiran Foucault dalam strukturalisme dan sebagian lagi memasukkannya dalam laju pemikiran post-strukturalisme, sebagai perkembangan strukturalisme, bahkan postmodernisme. Sementara itu, Foucault sendiri menolak itu semua dengan mengatakan bahwa pemikirannya adalah khas dirinya dan tidak dapat dimasukkan dalam aliran pemikiran manapun.

Diskusi tentang penggolongan Foucault dalam strukturalisme dengan alasan tertentu atau tidak memasukkannya dengan alasan tertentu, tidak dibahas dalam tulisan ini. Penulis hanya ingin membuat paparan ciri-ciri strukturalisme. Paling tidak, ada tiga ciri yang melekat pada strukturalisme, yaitu:[1]

Pertama, strukturalisme menekankan pada satu keutuhan totalitas. Struktur terdiri dari unit-unit fungsional yang berfungsi menjaga, mempertahankan dan melestarikan eksistensi dan stabilitas struktur.

Kedua, struktur tidak sekedar memahami apa yang ada di atas permukaan, atau fakta inderawi yang kasat mata melainkan mencoba memahami apa yang berada di balik permukaan. Sebagai ilustrasi, strukturalisme tidak sekedar mengumpulkan fakta jumlah perguruan tinggi melainan menjelaskan perguruan tinggi sebagai simbol pendidikan yang lebih tinggi dan seberapa jauhmemberikan peran dalam pendidikan.

Ketiga, struktur juga berupaya menemukan  norm-norma, aturan-aturan, sanksi, ideologi yang ada di balik struktur, kekuasaan, dominasi, peran, mekanisme hubungan, pergantian pimpinan, pencopotan dan semuanya itu saling berhubungan dalam upaya untuk menjaga dan mempertahankan struktur, serta masalah ideologi yang mewarnai.

Keempat, strukturalisme memberikan perhatian pada  unsur yang sinkronik dan diakronik. Ibarat sebuah batang, diakronik itu membelah batang menjadi dua lalu menelusuri satu seratnya mulai dari ujung sampai pangkalnya sementara sinkronik itu memotong batang dan akan kelihatan kaitan antar satu serat dengan serat lainnya.

Namun demikian, makalah ini akan mencoba melihat seberapa jauh jejak-jejak strukturalisme dalam pemikiran Foucault, khususnya yang berhubungan dengan konsep-konsepnya tentang sejarah, kegilaan, wacana, seksualitas, serta kekuasaan dan pengetahuan. Selain itu, kritik terhadap beberapa pemikirannya akan diurai pula dalam tulisan ini.

 

 

 

B. Biografi Michel Foucault

Foucault lahir pada tanggal 15 Oktober 1926 di Poiters, Perancis, dengan nama Paul Foucault. Ibunya bernama Anne Malapert dan menambahkan nama Michel. Foucault berasal dari keluarga ilmuwan. Ayah dan kakeknya ahli medis dan mengharapkan anaknya mengikuti jejak mereka. Akan tetapi, dia malah memilih studi filsafat, sejarah dan psikologi.

Setelah menamatkan pendidikan dasar, dia meneruskan ke Kolose Staint-Stainlas. Di sinilah dia mulai berkenalan dengan filsafat Yunani Modern, Descartes dan Henry Bergson. Dari Kolose ini, dia melanjutkan studi ke Universitas Sorbon dan memilih ENS (Ecole Normale Superiure). Karena telah memiliki reputasi terbaik dalam filsafat. Di sinilah dia mengenal tulisan-tulisan filsuf yang berpengaruh seperti Hegel, Marx dan Freud.

Beberapa filsuf Perancis saat itu seperti Sartre, Maurice, Marleau Ponty dan Louis Althusser menjadi daya minat para mahasiswa studi filsafat. Namun Foucault memiliki sikap tersendiri terhadap filsafat yang sedang diminati banyak mahasiswa ini.  Setelah menyelesaikan studi di ENS, dia kemudian mengarahkan perhatiannya terhadap psikiatri. Di sini dia berhasil meraih lisensi (sarjana) psikologi serta menjadi asisten Althusser. Pada tahun 1952, Foucault dianugrahi diploma (setara magister) psikho-patologi dari Universitas Paris atas hasil risetnya mengenai abnormalitas.

Untuk kepentingan pengembangan minatnya yang makin kuat, dia kembali ke rumah sakit jiwa Sainte-Anne, yakni satu rumah sakit yang pernah merawat dirinya dan menganggapnya sebagai pasien sakit jiwa. Di sini dia membantu pelaksanaan eksperimen-eksperimen dengan mengguakan perlatan elektro encephalografi. Dengan peralatan ini, dia berusaha menganalisis pelbagai abnormalitas yang disebabkan oleh berbagai kekacauan otak semisal akibat luka, epilepsi dan faktor neorologi yang lainnya.

Pada tahun 1955, dia menjadi dosen tamu di Universitas Uppsula, Swedia untuk mengajar sastra dan bahasa Perancis. Foucault dikagumkan oleh kenyataan bahwa perpustakaan Universitas ini meyimpan setumpuk koleksi arsip mengenai rumah sakit jiwa abad 19 M. Kondisi ini membuat minatnya pada psikiatri tergugah. Hampir setiap hari, dia berada di perpustakaan ini mulai pagi sampai sore.

Pada tahun 1958, Foucault diangkat menjadi direktur Pusat Kebudayaan di Warsawa, Polandia. Setelah itu dia ditempatkan di lembaga sejenis di Hamberg. Pada musim gugur 1983, Foucault mengakhiri pengembaraannya di San Fransisco dan mulai terserang penyakit. 1984 Foucault kembali ke Perancis. Di kota inilah dia jatuh ambruk di apartemennya. Pada 25 Juni 1984 setelah melewati kemerosotan fisik yang amat drastis, Foucault menghembuskan nafas yang terakhir.

Selama hidupnya banyak buku yang telah ia hasilkan, yang menjadi rujukan teori dalam ilmu-ilmu sosial, seperti Madness and Civilization (1961), The Order of Things (1966), The Archeology of Knowledge (1969), Discipline and Punish (1975),. Di antara karyanya yang terakhir adalah trilogi yang memusatkan perhatian pada seks: the History of Sexuality: an introduction (1980an), The Care of The Self (1984), dan The Use of Pleasure (1985). ketiga karya ini mencerminkan obsesi seumur hidupnya terhadap seks.[2]

Sebagian besar kehidupannya, rupanya telah di tentukan oleh obsesi ini, terutama tindakan homoseksualitasnya dan sadomasokismenya. Dalam lawatannya ke San Fransisco tahun 1975, ia mengunjungi dan sangat tertarik terhadap perkembangan komunitas homo di kota itu, ketika itu dan dalam beberapa kali lawatannya kemudian,ia menjadi anggota aktif dalam aktivitas homo, lebih khusus lagi ia rupanya telah tertarik pada hubungan seks inpersonal yang berkembang di tempat pemandian yang tak terkenal ketika itu. Ketertarikan dan partisipasinya di lingkungan dan aktivitas ini adalah bagian dari minatnya seumur hidup terhadap hal yang "berlimpah ruah, tak terkatakan, amat busuk, mengerikan, menakjubkan, menggembirakan, bahkan luar biasa”.[3]

Meski tak ada cara untuk memastikan bahwa Foucault terjangkit AIDS di San Fransisco, faktanya adalah bahwa ia berulang kali mengunjungi kota itu, di tahun 1979,1980 dan 1983, bahkan di musim gugur 1983. Ketika ia menyadari benar tentang AIDS dan fakta bahwa homoseksual kemungkinan besar menularkan penyakit itu, ia terjun kembali ke dalam hubungan seksual impersonal di rumah pemandian di San Fransisco, dia terjangkit AIDS sangat serius. Ketika ia pergi ke San Fransisco untuk kali terakhir, ia lakukan itu sebagai sebagai limit experience-nya.[4]

 

B. Pemikiran Sosial Foucault

Dalam setiap tulisannya, Foucault selalu tampil dengan karakter kritisnya yang tidak terpisahkan dari dua term utama: pendekatan genealogi (yang diadopsi dari Nietzsche) dan metode arkeologi, yang merupakan hasil orisinal dari perenungannya.[5] Dapat dikatakan bahwa kritisisme pemikiran Foucault bersifat genealogis pada desainnya, dan arkeologis pada metodenya. Arkeologi, menurut Foucault adalah untuk menguji arsip, yakni sistem-sistem yang memantapkan pernyataan, baik sebagai peristiwa (dengan kondisi dan ruang pemunculannya) maupun sebagai sesuatu atau material (dengan kemungkinan dan aplikasinya). Dengan demikian, tugas arkeologi adalah untuk menganalisis historical apriori of episteme (apriori historis atas episteme). Episteme adalah kondisi yang memungkinkan bagi munculnya pengetahuan dan teori dalam masa tertentu. Untuk itu, arkeologi (pengetahuan) harus memperlihatkan konfigurasi dari pengetahuan yang muncul, yang berbeda dari pengetahuan yang empiris atau eksplisit. Implikasinya dalam bidang sejarah pemikiran adalah semakin berkembangbiaknya diskontinuitas-diskontinuitas dalam sejarah pemikiran karena kecenderungan untuk menekankan pada kontinuitas akan semakin ditinggalkan.

 

1.     Pandangan Foucault tentang Sejarah

Foucault menentang segala bentuk teori global. Ia juga menghindari semua bentuk analisis yang bersifat total dan mengkritisinya secara sistematis. Ini diketahui melalui karya-karyanya yang didasarkan pada visi sejarah yang berasal dari Nietzsche (1844-1900). Ia merasa berhutang pada Nietzsche karena telah menggariskan konsepsi sejarah yang disebut genealogy. Metode genealogi melibatkan sebuah rediscovery dari usaha yang sungguh-sungguh, serangan terhadap tirani, yang ia sebut "totalisasi wacana" (totalizing discourses) dan rediscovery sebuah pengetahuan yang terpecah-pecah, lokal dan spesifik. Hal ini diarahkan terhadap kebenaran besar dan grand teori.

Sementara itu, genealogi bertujuan untuk melawan penulisan sejarah dengan metode tradisional. Genealogi merupakan sejarah yang ditulis dalam penglihatan dan kepedulian masa kini. Menurut Foucault, sejarah selalu ditulis dalam perspektif masa kini. Genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus. Sebaliknya, ia berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal (accidents) dan mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan (the minutes of deviation).[6]

Analisis Foucault lebih tertarik pada kejadian biasa atau peristiwa kecil yang diabaikan oleh ahli sejarah, seperti ketika ia mengupas masalah penjara, rumah sakit jiwa, seksualitas dan hal-hal kecil lainnya.

 

2. Pandangan Foucault tentang Kegilaan

Karya awal Foucault ini terutama berkaitan dengan pertumbuhan dari berbagai disiplin yang secara kolektif dikenal sebagai ilmu-ilmu sosial. Sebagai jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana ilmu-ilmu sosial secara histories masuk akal dan apa konsekuensi dari keberadaan mereka. Dalam buku pertamanya, Madness and Civilization, Foucault menjelaskan bagaimana kegilaan datang pada abad 17 yang dianggap sebagai "masalah sosial". Pada masa ini, 'madship' digantikan oleh 'rumah gila', yang berfungsi sebagai kurungan. Pada periode ini kegilaan tidak diobati, tetapi orang-orang gila dimasukkan dalam kurungan.

Kegilaan, selama Abad 19 mulai dikategorikan sebagai "kegagalan sosial". Dokter kejiwaan menambahkan status sosial baru dan secara terus menerus pasiennya dikirim ke dinas kesehatan. Sebut saja rumah sakit jiwa yang pada masa positivisme bukan suatu yang bebas dari observasi, diagnosis dan terapi, itu menjadi ruang yuridis tempat orang dituduh, dihakimi dan dikutuk. Sebuah alat keseragaman moral. Kelahiran rumah sakit jiwa dapat dilihat sebagai alegori dalam konstitusi subjektivitas.[7]

Menurut analisis Beilharz, Foucault sepertinya menganalogkan penderita kegilaan yang harus dirawat oleh dokter di rumah sakit jiwa, merupakan refleksi dari realitas praktik subjektifitas diskursus yang nyata. Penderita penyakit gila dikungkung dan dikendalikan semua aktifitas pemikiran maupun kehidupannya. Sebab semua pemikiran maupun aktifitas pasien gila dianggap sebagai sebuah kesalahan yang harus diluruskan. Adanya kondisi inferioritas bagi si pasien sebagai akibat justifikasi bahwa pemikiran serta perilaku pasien harus dinormalkan, menjadikan semua sistem rumah sakit termasuk aturan sang dokter menjadi sang penguasa. Dengan demikian sang dokter sebagai pihak yang berkuasa dengan leluasanya mengkonstruksi pemikiran pasien gilanya sesuai dengan arah yang dikehendaki. Dalam hal ini, yang lebih mendominasi dan berlaku adalah kehendak sang dokter, bukannya keinginan-keinginan mendasar dari si pasien gila. Argumen tersebut yang mendasari alasan bahwa setiap kegilaan tidak bisa bebas dibiarkan, melainkan harus dikungkung di RSJ untuk tujuan meluruskannya.[8]

 

3. Pandangan Foucault tentang Wacana

Bukunya yang berjudul The Order of Things dan The Archeology of Knowledge, sebagian besar menguraikan struktur wacana ilmiah.[9] Istilah wacana (discours, discourse) dipopulerkan oleh Foucault dan merupakan konsep penting dalam pemikirannya. Wacana dalam perspektif Foucault bukanlah sebagai rangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Oleh karena itu, dalam analisis wacana hendaknya mempertimbangkan peristiwa bahasa dengan melihat bahasa dari dua segi yaitu segi arti dan referensi. Hal ini bertentangan dengan strukturalisme yang hanya melihat bahasa sebagai sistem dan tidak mempertimbangakn pengalaman berbicara sebagai peristiwa bahasa.[10] Selain itu, menurutnya, wacana adalah komiditas politik, sebuah fenomena pengeluaran, pembatasan, dan larangan.[11]

Lewat teori-teori yang dikemukakannya Foucault menyadarkan dunia bahwa bahasa sebagai wacana tidak pernah netral. Dengan kata-katanya dia menggambarkan, language as a discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a particular group while excluding other. [12]

Dalam sebuah wacana terdapat pernyataan (proposisi) yang bertujuan untuk menyatakan sesuatu (arti/ makna), tetapi juga mengatakan sesuatu tentang sesuatu (referensi). Referensi inilah yang memperluas dimensi makna bahasa dan memengaruhi sistem sosial budaya sampai pikiran manusia. Oleh sebab itulah, maka wacana harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh. Foucault mengatakan bahwa wacana dikonstruksi oleh bentuk diskursif atau episteme.[13]

    

 

4. Pandangan Foucault tentang Kekuasaan

Wacana menurut Foucault berkaitan erat dengan konsep kekuasaan. Konsep kekuasaan Foucault berbeda dengan konsep kekuasaan yang telah ada sebelumnya. Kekuasaan bukanlah struktur politis seperti pemerintah atau kelompok-kelompok sosial yang dominan. Kekuasaan bukanlah raja yang absolut atau tuan tanah yang tiranik.[14]

Foucault memandang kekuasaan tidak seperti kaum Weberian, yakni kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Kekuasaan tidak pula dimaknai kaum Marxian sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas lain. Dalam pemikirannya, kekuasaan bukanlah institusi, struktur, atau kekuatan dalam masyarakat. Kekuasaan tidak melulu negative dan represif. Kekuasaan justeru beroperasi secara positif dan produktif, sebab kekuasaan selalu menciptakan pengetahuan yang pada gilirannya memunculkan suatu kebenarannya sendiri.

Singkatnmya, Foucault sebenarnya ingin menegaskan bahwa kebenaran tidak terletak di luar, tetapi di dalam kuasa. Kebenaran tidak lain relasi kuasa itu sendiri. Ia adalah mekanisme rule yang oleh kesadaran kita dianggap pasti dan benar, untuk menentukan, memilah-milah, mengklasifikasi kedirian kita.[15]

Menurut Foucault, selama 3 abad masyarakat Barat telah membuat berbagai kesalahan mendasar. Ia menegaskan bahwa para ahli telah percaya secara salah, adanya pengetahuan obyektif yang bisa diungkapkan, mereka mempunyai pengetahuan demikian dan sifatnya netral (bebas nilai), pencarian pengetahuan demikian akan memberi manfaat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya pada golongan tertentu. Semua aturan dari masa modern itu ditolak mentah-mentah oleh Foucault, dimana dia percaya dengan pengetahuan yang berada pada satu wewenang akan menimbulkan kekuasaan yang terlembaga. Wacana yang terbentuk hanyalah suatu bentuk dominasi dari sistem kekuasaan. kebenaran menurutnya adalah produk atau dongeng, ‘sebuah sistem produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan pernyataan’. Sistem kebenaran berada dalam hubungan timbal balik dengan sistem kekuasaan. Sistem kekuasaan menciptakan dan mempertahankan kebenaran. Kebenaran hanyalah produk dari praktek-praktek tertentu. Kekuasaan pengetahuan mewujudkan diri dalam wacana yang menciptakan “kebenaran” secara sewenang-wenang demi kepentingannya. Dengan demikian pengetahuan menciptakan realitas.[16]

Empat tesis utama Foucault tentang kekuasaan adalah: 1) Kekuasaan bukan milik tetapi strategi, 2) Kekuasaan tidak dapat dilokalisir tetapi menyebar keman-mana, 3) Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi, dan 4) Kekuasaan tidak bersifat destruktif melainkan reproduktif. [17]

5. Pandangan Foucault tentang Seksualitas dan Kekuasaan

Pandangannya tentang seksualitas yang terkait dengan kekuasaan banyak ia ungkapkan pada trilogi karyanya yang memusatkan perhatian pada seks: the History of Sexuality: an Introdution (1980an), The Care of The Self (1984), dan The Use of Pleasure (1985).

Dalam buku the History of Sexuality: an Introdution, satu point pentingnya adalah bahwa seksualitas lebih merupakan produk positif kekuasaan daripada kekuasaan yang menindas seksualitas. Foucault mengatakan bahwa kita sebenarnya baru memiliki gagasan seksualitas sejak abad ke-18 dan seks sejak abad ke-19. Apa yang kita miliki sebelumnya adalah, tidak diragukan lagi, hanyalah daging. Karya Foucault memperlihatkan bagaimana pada abad ke-19 proses pelatihan dan regulasi tubuh manusia terjadi di lingkup lokasi institusional spesifik yang luas: di pabrik, penjara dan sekolah. Keseluruhan hasil praktik pendisiplinan ini adalah tubuh yang berguna dan jinak, produktif dan patuh. Dan kemudian, pada awal abad ke-20, wacana seks mulai menjadi kajian keilmuan. Contoh utama wacana seksualitas modern yang diajukan Foucault, pengakuan ilmiah baru, adalah psikoanalisis. Ia mengatakan dengan mengasumsikan insting seksual Freud membuka wilayah baru dominasi ilmu atas seksualitas.

Pemikiran tentang seksualitas dan kekuasaan merupakan kontribusi utama Foucault atas ilmu-ilmu sosial, di mana terdapat deskripsi mengenai pengaturan politik tubuh dalam, melalui, dan atas tubuh fisik. Kekuasaan berakar di atas tubuh (biopower) dan di dalam setiap aktivitas kecil mikrokopik tubuh (mikrofisika, istilah yang diberikan Foucault) dalam setiap institusi politik tubuh.[18]

Foucault juga menjelaskan bagaimana sistem paksaan besar dan tradisional untuk memperoleh pengakuan seksual dapat dibangun dalam bentuk-bentuk yang ilmiah:

1)    Dengan jalan membakukan sebagai ilmu klinis prosedur “menyuruh bicara”: mengkombinasikan pengakuan dan pemeriksaan;

2)    Dengan postulat suatu kausalitas umum dan ke segala arah: pada abad ke-19 hampir tidak ada penyakit atau gangguan fisik yang tidak dikaitkan dengan (paling tidak) etiologi seksual;

3)    Dengan asas mengganggap seksualitas sebagai sesuatu yang secara hakiki bersifat laten: dengan mengintegrasikan seks dalam suatu rencana wacana ilmiah, abad ke-19 telah menggeser pengakuan. Asas seksualitas yang pada dasarnya laten memungkinkan untuk memberi landasan ilmiah bagi tekanan pengakuan yang memang sulit dilakukan;

4)    Dengan metode interpretasi: dengan membuat pengakuan bukan lagi sebagai bukti melainkan sebagai tanda, dan dengan membuat seksualitas sebagai sesuatu yang harus ditafsirkan, telah dibuka kemungkinan untuk memfungsikan berbagai prosedur pengakuan dalam bentuk yang beraturan seperti lasimnya wacana keilmuan;

5)    Melalui medikalisasi berbagai dampak pengakuan: perolehan pengakuan dan berbagai dampaknya dikodifikasikan kembali dalam bentuk berbagai kegiatan penyembuhan. Di situ seksualitas ditetapkan sebagai “kodrat”: suatu bidang yang tertembus oleh berbagai proses patologis, dan karena itu menghendaki berbagai intervensi penyembuhan atan normalisasi; suatu wilayah pemaknaan yang harus dipilah; suatu tempat berbagai proses disembunyikan oleh berbagai mekanisme khas; rumah bagi hubungan kausalitas tak terhingga, suatu wacana kelam yang sekaligus harus ditangkap dan didengarkan.[19]

Dalam the History of Sexuality-nya Foucault juga menjelaskan tentang “ledakan besar” wacana-wacana seksualitas, misalnya di dunia medis, psikiatris dan teori pendidikan. Tesis dasar buku ini adalah bahwa seksualitas bukanlah realitas alamiah melainkan produk sistem wacana dan praktik yang membentuk bagian-bagian pengawasan dan kontrol individu yang semakin intensif. Foucault mengatakan bahwa pembebasan itu pada kenyataannya merupakan bentuk perbudakan, karena seksualitas yang tampak “alamiah” itu sebenarnya merupakan produk dari kekuasaan.

Tujuan utama Foucault adalah mengkritik cara masyarakat modern mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia: kedokteran, psikiatri, psikologi, kriminologi dan sosiologi. Ilmu manusia telah menetapkan norma-norma tertentu dan norma tersebut direproduksi serta dilegitimasi secara terus-menerus melalui praktik para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan petugas administrasi. Ilmu manusia menempatkan manusia menjadi subyek studi dan subyek negara. Terjadi ekspansi sistem administrasi dan kontrol sosial yang dirasionalkan secara terus-menerus.[20]

Pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan menjadi pemikiran penting untuk menganalisis kondisi ketimpangan serta relasi kuasa yang tidak seimbang dalam masyarakat. Termasuk juga tentang seksualitas dan kesehatan kaum perempuan. Foucault mendiskusikan cara-cara perempuan dan kaum homoseksual melakukan perlawanan atas penolakan yang mereka terima dari masyarakat.

Memasukkan pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan sebagai amunisi penting untuk menganalisis tubuh dan kesehatan perempuan dalam relasi kuasa yang tidak seimbang, merupakan langkah-langkah strategis yang tak dapat dilepaskan dari pergerakan feminisme. Feminisme berusaha untuk membongkar diskursus atau wacana-wacana yang bersifat misoginis. Pembongkaran suatu wacana seringkali membutuhkan keajegan berpikir, koherensi.[21]

 

C.  Tentang Foucault dan Althusser 

Sebagaimana layaknya murid dan guru, Foucault tentu banyak terpengaruh oleh Althusser, yang tercatat sebagai gurunya. Akan tetapi, tidak dapat disangkal pula bahwa murid dan guru terkadang memiliki perbedaan pendapat. Persamaan dan perbedaan itu dapat dilihat sebagai berikut.

1. Persamaan antara Foucault dan Althusser

Foucault dan Althusser menganggap humanisme sebagai kesalahan; penganut paham anti-humanis berpendapat bahwa emansipasi tanpa syarat adalah sebuah fantasi, dan fantasi tersebut berbahaya. Keduanya menekankan perlunya menerapkan teori-teori anti-humanis tertentu untuk membaca teks. Namun, perlu diketahui bahwa karya yang dihasilkan oleh mereka berdua lebih pada menimbulkan masalah daripada memberikan solusi.[22]

 

2. Perbedaan antara Foucault dan Althusser

Foucault sering digambarkan sebagai pengikut aliran relativis bebas, berbeda dengan Althusser. Foucault berpendapat bahwa karakter pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, Althusser berpikir bahwa ilmu pengetahuan (sains) menghasilkan objek sendiri dan dengan sendirinya ia adalah produk dari praktek-praktek sosial. Foucault menolak konsep ideology, sementara Althusser tidak.[23]

D. Kritik Foucault terhadap Marxisme

Menurut Foucault Kekuasan tidak terletak pada aparatur negara, melainkan melewati jalur yang lebih kecil dan jauh lebih membingungkan, karena setiap individu memiliki penyelesaianya masing-masing, setidaknya ada beberapa kekuasaan pada diri mereka. Harus diingat bahwa reproduksi hubungan pada produksi bukan satu-satunya fungsi yang dilayani oleh kekuasaan. Sistem dominasi dan sirkuit eksploitasi pasti saling berinteraksi, bersinggungan dan mendukung, tetapi mereka tidak sama persis.[24]

Foucault sangat bertentangan dengan konsep ideologi Marxis, alasan adalah sebagai berikut:

Pertama, selalu menentang untuk hal lain yang seharusnya dianggap sebagai kebenaran.

Kedua, analisis yang memprioritaskan ideologi mengganggunya karena mereka selalu mengandaikan subjek manusia pada garis model yang disediakan oleh filsafat klasik.

Ketiga, ideologi berdiri pada posisi sekunder, padahal relatif harusnya terhadap sesuatu yang berfungsi sebagai basisnya, sebagai materi determinan ekonomi.

Oleh karena itu, Foucault menekankan pentingnya lokal, perjuangan spesifik dan percaya bahwa mereka dapat memiliki efek dan implikasi yang tidak hanya profesional atau sektoral.[25]

 

E. Kritik terhadap Foucault

Kecendrung Foucault pada pembebasan seksual, terutama ketika ia mendiskusikan cara-cara kaum homoseksual melakukan perlawanan atas penolakan yang mereka terima dari masyarakat, sangat berdampak buruk bagi masyarakat dan ini juga bertolak belakang dengan ajaran agama apapun.

Penolakan Foucault terhadap konsep ideologi, yang di dalamnya terdapat agama, sangat bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang harus menjadi pegangan hidup bagi setiap manusia yang hidup di dunia.

Sikap Foucault yang anti humanis, yang tidak mendukung emansipasi, sangat menghambat kemajuan sebuah negara. Ini hanya akan memperkuat kedudukan pihak yang sudah berkuasa, sementara yang lain tidak diberi kesempatan untuk bergelut di dunia yang lebih maju bagi masa depannya. Dengan sikapnya yang anti humanis ini, Habermas menilai bahwa ia bukanlahlah konserfatif muda.[26]

 

 

F. Penutup

Foucault merupakan salah satu pemikir terkemuka dalam dunia ilmu sosial. Karya-karya hasil pemikirannya di kemudian hari, sempat menjadi grand theory yang mendunia dalam kancah teori sosial. Seperti pemikirannya tentang sejarah, kegilaan, wacana, kekuasaan, seksualitas dan kekuasaan. Dalam semua pemikirannya, seolah ia menjelaskan bahwa manusia itu pada hakikatnya terstruktur, tetapi dapat melepaskan diri dari struktur dirinya. Berdasarkan ini, dapat diketahui bahwa pemikirannya lebih cendrung kepada post-strukturalisme, karena berusaha menjadi antitesa dari eksistensialisme dan strukturalisme. Namun, tidak semua isi dari pemikirannya dapat diterima di masyarakat, misalnya kegigihan sikapnya yang anti humanis, tidak menerima adanya ideologi, serta cenderung kepada kebebasan seksual bagi kaum homoseksual, sangat tidak mencerminkan bahwa dirinya sebagai seorang pemikir yang netral. Ini dilandasi dengan latar belakang kehidupannya sendiri.

 

 

G. Daftar Pustaka

Anthony Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri & Masyarakat, terjemahan Pipit Maizer, Yogyakarta: PT Jalasutra, Edisi Revisi 2007.

Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), 2003.

Beilharz, Peter. Social Theory: A Guide to Central Thinkers. Sydney: Allen & Unwin Pty Ltd, 1991.

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX, jilid 2. Jakarta, Gramedia, 1996.

Foucault,  Michel. The Archeology of Knowledge & The Discourse on Language. New York: Pantheon, 1972.

Foucault, Michel. Arkeologi Pengetahuan, terjemahan oleh Moechtar Zoerni dari buku asli The Archeology of Knowledge, Yogyakarta: Qalam , 2002

Gordon, Colin. Power Knowledge, New York: Pantheon, 1980.

Haryatmoko, “Kekuasaan melahirkan Antikekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002. Kanisius. Yogyakarta.

http://en.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault

J. Miller, The Passion of Michel Foucault. London: HarperCollins 1993

Nancy Fraser, "Michel Foucault: A 'Young Conservative'?" dalam Survey Article Ethics, Oktober 1985.

Sarup, Madan. "Foucault and the Social Sciences", dalam Post-structuralism and Postmodernism, 1993, Athens: The University of Georgia Press.           

Yusuf, Akhyar. Politik Pengetahuan, Episteme, dan Kematian Manusia: Refleksi Pemikiran Posmodernisme Michel Foucault. Jakarta: FIB UI, 2009.



[1] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, jilid 2 (Jakarta, Gramedia, 1996), hlm. 182

[2] Disarikan dari http://en.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault

[3] J. Miller, 1993, The Passion of Michel Foucault. London: HarperCollins. hlm. 23.

[4] Ibid., hlm. 380

[5] Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, terjemahan oleh Moechtar Zoerni dari buku asli The Archeology of Knowledge, Yogyakarta: Qalam , 2002, hlm. vii

[6] Madan Sarup, Post-structuralism and Postmodernism, 1993, Athens: The University of Georgia Press, hlm. 58--59.    

[7] Ibid.,hlm. 63.

[8] Peter Beilharz, Social Theory: A Guide to Central Thinkers (Sydney: Allen & Unwin Pty Ltd, 1991).

[9]  Madan Sarup, Op. Cit., hlm. 64.

[10] Akhyar Yusuf, Politik Pengetahuan, Episteme, dan Kematian Manusia: Refleksi Pemikiran Posmodernisme Michel Foucault." Jakarta: FIB UI, 2009, hlm. 6.

[11] Colin Gordon, Power Knowledge, New York: Pantheon, 1980, hlm. 245.

[12] Michel Foucault,  The Archeology of Knowledge & The Discourse on Language (New York: Pantheon, 1972, hlm. 216.

[13] Akhyar Yusuf, Ibid, hlm. 15

[14] Haryatmoko, “Kekuasaan melahirkan Antikekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002. Kanisius. Yogyakarta.

[15] Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, terjemahan oleh Moechtar Zoerni dari buku asli The Archeology of Knowledge, Yogyakarta: Qalam , 2002, hlm. Ix.

[16] Haryatmoko, Op. Cit."

[17] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II. Gramedia. Jakarta, 1996. hlm. 487--490

[18] Madan Sarup, Op. Cit., hlm. 70 – 72.

[19] Anthony Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri & Masyarakat, terjemahan Pipit Maizer, Yogyakarta: PT Jalasutra, Edisi Revisi 2007, hlm. 369--374.

[20] Madan Sarup, Op. Cit., hlm. 72

[21] Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), 2003, hlm. 17.

[22] Madan Sarup, Op. Cit., hlm. 76.

[23] Ibid., hlm. 77.

[24] Ibid., hlm. 78--79.

[25] Ibid., hlm. 79.

[26] Nancy Fraser, "Michel Foucault: A 'Young Conservative'?" dalam Survey Article Ethics, Oktober 1985, hlm. 182.


Leave a Comment