| 0 Comments | 8421 Views
Solawat dala`il adalah kumpulan solawat kepada
Nabi Muhammad saw. yang terdiri dari tujuh hizb (kelompok/bagian), yang setiap hizb terdiri dari bacaan solawat yang berbeda. Hizb pertama dibaca pada
hari senin secara berurutan hingga berakhir pada hizb ketujuh yang dibaca pada
hari minggu. Secara lengkap, solawat yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli (w. 872 H), ulama berkebangsaan Maroko dari wilayah Jazulah ini, terhimpun dalam satu kitab yang bertajuk Dala`il
al-Khairaat ma'a al-Ahzaab.
Kumpulan solawat ini biasa dijadikan wirid harian di beberapa pesantren
besar di Indonesia, sebut saja, PP Lirboyo Jawa Timur sejak di bawah
asuhan KH Abdul Karim, PP Sunan Pandanaran Yogyakarta sejak
di bawah asuhan KH Mufid Mas’ud, PP
Darussalam Martapura sejak di bawah asuhan KH Muhammad Zaini (Abah Guru
Sekumpul), dan di beberapa pesantren besar di Indonesia yang berbasis nahdiyyin lainnya.
Bukan hal yang tepat membahas beraneka faidah
solawat dala’il pada tulisan ini, karena sudah banyak sekali tulisan tentang
ini (Lihat Keutamaan
Sholawat Dalailul Khoirot | Amaliyah dan Shalawat › LADUNI.ID - Layanan
Dokumentasi Ulama dan Keislaman). Juga, sudah diurai secara rinci latar
belakang mengapa Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuly menyusun rangkaian solawat ini
(lihat Sejarah
Kitab Dala'il Khairat, Pegangan Tradisi Ke-Islaman di Banten ·
Faktabanten.co.id)
Dalam artikel ini, penulis ingin menceritakan pengalaman pribadi penulis terkait dengan solawat dala’il. Sesuai judul artikel ini, “Ketika Rasulullah saw Merindukan Solawat Dala’il”, akan diceritakan hubungan antara Rasulullah saw dan Salawat Dala'il. Pada awal bulan Agustus sd pertengahan September 2017, bertepatan dengan kewajiban haji yang sedang dijalani penulis, ada hal menarik untuk dikisahkan. Sebelum melaksanakan ibadah haji di Mekkah, penulis terlebih dahulu singgah di Madinah. Sebagaimana program pemerintah Indonesia yang menjadwalkan jamaah haji berdiam diri di Madinah selama 8-9 hari demi untuk melaksanakan salat arba’in, yaitu solat empat puluh waktu di Masjid Nabawi. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah.
Artinya: "Siapa yang sholat di masjidku 40 sholat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan." (HR Ahmad).
Sejak di Indonesia, penulis memiliki azam akan
membaca salawat dala’il, baik di Mekkah maupun di Madinah secara
berturut-turut, masing-masing di dua kota suci tersebut sebanyak 7 (tujuh)
hari, sejumlah hizb (bagian) dalam kumpulan kitab solawat dala'il (Kitab Dala`il al-Khairaat). Qadarullah, secara
kebetulan kloter kami tiba di Madinah hari minggu, dan pembacaan solawat dalail
dalam Kitab Dala`il al-Khairaat yang dimulai hari pertama pada hari senin, sangat tepat dari hitungan
waktu selama kami berada di Madinah yang sebatas 8-9 hari.
Senin pertama di Madinah, setelah salat subuh
pertama di Masjid Nabawi, penulis baru terpikir akan mulai membaca solawat dala’il.
Untuk itu, penulis memang sudah menyiapkan kitab kumpulan solawat tersebut dari
Indonesia. Karenanya, penulis akan memulai membacanya setelah solat zhuhur hari
Senin itu di Masjid Nabawi. Namun, setelah sampai di Masjid Nabawi satu jam sebelum Zhuhur,
Kitab
Dala`il al-Khairaat tersebut lupa dibawa, dan jika
kembali ke hotel untuk mengambil kitab tersebut, yang berjarak hampir 2 KM
dengan berjalan kaki (yang biasa kami lakukan saat itu), tentu sangat
melelahkan. Adapun jika dibaca setelah solat Ashar nanti, dalam hitungan tahun qamariyah
sudah akan berganti hari (Selasa), dan tentu pembacaan solawat dala'il yang idealnya
diawali pada hari senin sampai dengan minggu, tidak bisa terlaksana, sesuai
azam penulis.
Dengan kondisi seperti ini, akhirnya penulis
merasa menyesal karena keinginan mengkhatamkan solawat dala’il di Madinah,
tepatnya di Masjid Nabawi, di hadapan Rasulullah saw. gagal total. Akhirnya,
penulis hanya bisa melaksanakan ritual solat sunnah di masjid Nabawi sambil
menunggu adzan Zhuhur. Setelah solat sunnah, di luar dugaan, penulis melihat
ada seorang kakek penduduk asli Madinah, bersandar di tiang penyangga masjid
Nabawi, dan sudah tidak bisa solat dengan berdiri karena menurut beliau salah satu
kakinya sudah sakit, sehingga hanya bisa duduk bersandar, yang kebetulan saat
itu berada tepat di depan shaf penulis, tetapi dengan posisi bersandar
miring sehingga kami bisa saling melihat. Setelah ngobrol-ngobrol dengan bahasa
Arab semampu penulis, mata penulis tertuju pada buku yang dipegang kakek tua
tersebut. Maa Syaa Allah, Kakek tua tersebut membawa kitab Dala`il al-Khairaat di tangannya. Di Masjid yang penuh jamaah, dan bisa menampung hingga 1
juta jamaah tersebut, mustahil ditemukan ada jamaah yang membawa kitab Dala`il al-Khairaat. Namun, saat itu, kitab tersebut
berada di tangan seorang kakek yang duduk di hadapan saya, bahkan mungkin
satu-satunya, meskipun dengan tampilan cover yang agak berbeda dengan
kitab-kitab solawat dala’il yang tersebar di Indonesia. Tanpa pikir panjang,
penulis langsung meminjam kitab kumpulan solawat tersebut, dengan maksud untuk
membacanya. Tentunya, hizb (bagian) solawat hari senin, sebagai hizb pertama
yang penulis baca. Saking senangnya, setelah penulis akan pulang ke hotel,
tentu setelah solat zhuhur, penulis mengembalikan kitab itu kepada kakek tua
tersebut, dan memberikan sejumlah uang riyal yang lumayan banyak kepada sang
kakek. Uang itu adalah pemberian ayah mertua ketika di tanah air, yang berpesan untuk
menyedekahkannya ketika penulis berada di Makkah dan Madinah. Beliau mungkin
bersandar pada perkataan Imam Hasan al-Bashri yang berkata, “Siapa
yang shalat di tanah Haram, maka dicatat baginya pahala shalat 100.000 hari.
Begitu pula barangsiapa bersedekah di tanah haram dengan satu dirham, maka akan
dilipatgandakan pahala sedekah dengan 100.000 dirham.” (Akhbar Makkah, Al Fakihiy, 2/292).
Akhirnya, keinginan penulis untuk mengkhatamkan solawat dala’il selama di Madinah, lengkap berurutan dari hari senin hingga hari minggu bisa terpenuhi. Semula, penulis merasa keinginan ini tidak akan terlaksana karena kitab Dala`il al-Khairaat yang sudah disiapkan penulis dari tanah air tertinggal di hotel. Namun, Allah berkehendak lain, seolah-olah Nabi Muhammad saw yang berada di Masjid Nabawi itu mengerti niat penulis, dan rindu mendengar bacaan solawat itu, akhirnya beliau “mempertemukan” penulis dengan seorang kakek tua yang membawa kitab Dala`il al-Khairaat di tangannya. Mungkinkah ini maksud sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah mengatakan:
مَا
مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أَرُدَّ
عَلَيْهِ السَّلاَم
‘Tidak ada seorangpun yang
memberikan salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan ruhku kepadaku,
sehingga aku akan membalas salamnya.’ (HR Abu Daud)
Syahdan, penulis pun dengan khusyu menikmati indahnya susunan Uslûb al-jinãs yang banyak mendominasi pada rangkaian solawat yang disusun oleh Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuly dalam kitab Dala'il al-Khairaat-nya ini. Penulis pun akhirnya bisa menyelesaikan bacaan solawat dala'il, khususnya pada hizb (bagian) pertama, yang membacanya memang dimulai pada hari Senin. Adapun hari berikutnya (selasa s.d. minggu) penulis selalu membawa kitab yang sudah disiapkan dari tanah air tersebut ke Masjid Nabawi untuk dibaca, sesuai azam penulis sejak berada di Indonesia.
So, kebetulankah ini, atau memang Nabi Muhammad saw dengan mukjizatnya turut andil memenuhi azam penulis untuk mengkhatamkan salawat dala'il di Tanah Haram?
اللّهم صلّ على سيدنا محمد
عَدَدَ خَلْقِكَ فِيْ كُلِّ أيَّامٍ وَلَيَالِيْ
Leave a Comment