| 0 Comments | 493 Views

Card Image

komplek makam kakek di Ambuang Kapua, Pariaman

MENCARI PUSARA KAKEK DI RANAH MINANG

Minangkabau adalah tempat lahir, wafat, dan disemayamkannya jasad kakek, tepatnya ayah dari ibu. Ternyata tempat asal nasi padang, makanan favorit saya dan istri, yang warungnya bertebaran hampir di seluruh tepi jalan kota-kota besar dan kecil Indonesia adalah tanah tumpah darah kakek. Memang, dalam tubuh ini mengalir darah minang dari ibu, karena ibu berdarah campuran Minang dan Banten. Meskipun demikian, saya tidak pernah berjumpa dengan kakek yang asli minang ini selama hidup saya. Bagaimana tidak, sejak ibu saya masih usia SD sekitar tahun 70-an, kakek sudah pulang ke kampung halamannya meninggalkan nenek dan keempat anaknya di Lampung. Layaknya pemuda Minangkabau, kakek merantau dari kampung halamannya ke Lampung, hingga bertemu nenek dan membina rumah tangga di sana. Barangkali kakek dan nenek ketika itu bercerai, kami pun tidak tahu. Ibu dan saudara-saudaranya saat itu belum cukup dewasa memahami cerita perpisahan mereka. Yang mereka tahu, kakek pergi tak pulang-pulang. Dan, nenek pun tidak pernah bercerita tentang sosok kakek. Begitu pula jarak antara Padang dan Lampung untuk saat itu terbilang sulit dijangkau, jangankan lewat jalur udara, jalur darat atau laut pun masih perlu perjuangan berat untuk menghubungkan dua daerah tersebut. Butuh niatan kuat untuk melakukan perjalanan dari Lampung ke Padang atau sebaliknya.

Meskipun demikian, nenek pernah mengajarkan saya mantra Padang Pariaman, sebuah sastra lisan tradisional yang sudah berakulturasi dengan Islam, yang konon ceritanya biasa dirapalkan kakek untuk menyembuhkan anak-anaknya atau orang lain yang baru “disapa” oleh makhluk halus, yang biasanya ditandai dengan demam tinggi dan meracau. Dari sekian banyak cucunya, hanya saya yang diwarisi manto tawa (mantra penawar) ini. Masih berbekas dalam ingatan saya, meskipun tidak sempurna, mantra yang pernah diwariskan nenek dari kakek, yang ketika itu saya masih berusia belasan tahun.

Bismillahirrahmanirrahim

Bismillahi tawasati fa talawarsati

Tasapo tasambet tategur kagiran

Tawa Allah, tawa Muhammad

Tawa baginda Rasulullah

Si tawa si dingin si keruh si kompe

 

Mantra ini tidak hanya dirapalkan, tetapi dibutuhkan juga peralatan dan gerakan-gerakan tertentu yang disentuhkan ke tubuh si sakit, yang tidak perlu saya ceritakan secara detil di sini. Tentunya ini rahasia perusahaan. Namun, di era sekarang, pengobatan semakin modern, ketika anak-anak demam langsung diatasi dengan obat penurun panas. Semakin mahal harga obat, semakin manjur khasiatnya. Jika tiga sampai lima hari demam tidak turun, antibiotik beraksi.

Kembali ke kisah kakek. Ibu pernah bercerita, kakek pernah pulang ke Lampung saat pernikahan putri pertamanya, tahun 1974, setelah itu kembali ke Padang. Info yang didapat dari tetangga kakek di Padang yang sama-sama merantau di Lampung dan masih menetap di Lampung saat itu, ketika kakek kembali ke Padang, kakek mengalami sakit yang menyebabkan beliau meninggal dunia.

Hubungan kami dengan kakek dan saudara-saudara kakek yang ada di Padang benar-benar terputus. Sampai akhirnya, adik bungsu ibu (tante) yang saat itu sudah menginjak usia SMA, pernah diajak ke Padang oleh tetangga kakek yang masih tinggal di Lampung sekitar akhir tahun 80-an. Tentunya, dengan misi mencari makam kakek dan saudara-saudara kakek yang berada di Padang, tepatnya di Ambuang Kapua, sebuah desa kecil yang jaraknya sekitar 12 KM dari Kota Pariaman. Misi pencarian pusara kakek oleh tante di pedalaman Pariaman berhasil. Tante bertemu keluarga besar kakek dan disambut dengan baik, bahkan di antar ke pusara kakek. Meskipun tante sempat tinggal beberapa hari di rumah induk keluarga besar kakek, pertemuan hanya sebatas itu, setelah kembali ke Lampung, komunikasi terputus kembali. Maklum, zaman belum secanggih saat ini. Tidak ada alat komunikasi baik berupa telepon kabel maupun telepon seluler, apalagi media sosial seperti: facebook, whatsapp, Instagram dan media untuk eksis para netizen lainnya. Ditambah lagi, tetangga kakek dari Padang yang pernah mengajak tante mencari keluarga di Padang, sudah meninggal dunia. Jejak kekerabatan dengan keluarga kakek di Padang terputus.

30-an tahun setelah pertemuan tante dan keluarga besar kakek berlalu, saya mencoba akan mengulangi pencarian pusara kakek ini. Tentunya, di era komunikasi netizen yang sangat inovatif saat ini, pencarian ini bukan suatu yang sulit. Yang ada dibenak saya tentu membuat informasi tentang pencarian keluarga yang hilang, yang akhir-akhir ini banyak dilakukan di media sosial dan cara ini sudah banyak terbukti mujarab. Kalau di Yogyakarta, kita mengenal ada grup ICJ (Info Cegatan Jogja) yang sangat viral untuk menyebarkan informasi apapun di media sosial. Apalagi, informasi dari tante tentang desa, kecamatan, dan kabupaten tempat keluarga kakek sudah didapat. Bahkan, profesi keluarga kakek yang tinggal di desa tempat kakek dimakamkan cukup ternama, seorang kepala desa. Tentu tidak sulit menemukan informasi ini. Dengan berbekal media sosial, saya bergabung dalam sebuah grup kecamatan tempat keluarga besar kakek tinggal, Sungai Sariak. Saat pertama saya posting info tentang pencarian keluarga (06 Juni 2022), informasi dari tante belum begitu spesifik, sehingga belum menemukan titik terang. Bahkan, ada yang bilang kalau kakek saya masih hidup berdasar informasi dari netizen. Jelas ini bukan orang dimaksud, karena tante sudah pernah menemui pusara kakek.



postingan pertama dan respon netizen Sungai Sariak yang coba memberi informasi

Tidak patah arang, saya kembali mem-posting info tentang pencarian keluarga (19 Januari 2023). Kali ini dengan informasi daerah yang lebih spesifik. Wal hasil, apa yang saya posting mendapat respons yang mendekati titik terang, bukan seperti respon pada posting-an saya setengah tahun sebelumnya. Saat itu, ada seorang pensiunan Polwan di Polda Sumatera Barat yang mengenali nama-nama beberapa orang yang saya infokan, dan beliau mengenal baik dengan salah satunya, karena beliau merupakan keponakan dari orang tersebut.

Akhirnya, berbekal info dari Uni Asniwati, sang polwan, saya berencana ke Pariaman mencari pusara kakek. Dan, kebetulan beberapa bulan lagi saya mendapat tugas kantor ke kota Padang. Ibarat pepatah, sambil menyelam minum air, di sela-sela tugas kantor pada sesi yang bisa saya tinggalkan tanpa kehadiran saya, napak tilas ke makam kakek saya lakukan. Sebelum ke padang, tentu berbagai informasi terkait transportasi dari kota Padang ke Pariaman sudah saya kantongi. Itu juga tidak lepas dari informasi Uni Asniwati.



postingan kedua, yang mendapat respon dari Uni Asniwati dan mulai menemukan titik terang

Hari senin, 05 Juni 2023 (tepat satu tahun setelah saya memposting pertama kali info tentang pencarian keluarga) saya memulai perjalanan ke kampung kakek. Kereta Pariaman Ekspres (KA Sibinuang) adalah alternatif transportasi tercepat dan termurah untuk menuju Pariaman. Kereta ini beroperasi sehari empat kali. Jauh hari sebelum sampai kota Padang, saya sudah membeli tiket KA Pariaman Ekspres dengan rute Padang ke Pariaman, dan sebaliknya, secara online. Yang saya pilih perjalanan kereta pertama, pukul 05.40. Tentunya saya sudah bersiap ke Stasiun Padang sebelum adzan subuh berkumandang, dengan memesan ojek online dari hotel. Perjalanan dari stasiun Kota Padang ke Stasiun Pariaman memakan waktu sekitar 1 jam 45 menit, yang berjarak sekitar 50-an KM, dan itu semua hanya butuh biaya lima ribu rupiah. Sebenarnya, tujuan terjauh kereta ini adalah Stasiun Naras, satu perhentian lagi setelah Stasiun Pariaman. Akan tetapi, banyak penumpang yang sudah turun di Stasiun Pariaman, karena terdekat menuju pusat administratif pemerintah Kota Pariaman. Moda transportasi rakyat yang sungguh memikat. Namun, untuk para pekerja yang menggunakan transportasi ini, mereka harus rela bersiap sebelum subuh untuk berangkat ke stasiun, atau maksimal setelah solat subuh langsung tancap gas ke stasiun. Hal ini mengingat trayek kedua Padang ke Pariaman sekitar pukul 09.55 pagi, yang tentunya sudah jauh melewati jam masuk kantor. Dengan demikian, meskipun trayek pertama dimulai setelah solat subuh, kerata ini tetap ramai diisi oleh pekerja kantor yang kebetulan kantor mereka berada di Pariaman. Atas dasar ini pula, trayek kereta pertama saya pilih. Jika saya ambil pemberangkatan kedua, sudah teramat siang, dan tentu waktunya sangat sedikit untuk mencari keluarga dan pusara kakek, sementara sore hari saya sudah harus bergabung di acara kantor di Kantor Gubernur Sumatera Barat.



Setelah tiba di Kota Pariaman, saya masih harus menempuh perjalanan sekitar 14 km ke Nagari (wilayah administratif setingkat Kelurahan) Ambuang Kapua, yang terletak di Kecamatan VII Koto Sungai Sarik, Kabupaten Padang Pariaman. Lagi-lagi, transportasi ojek online yang saya manfaatkan, selain tidak perlu tawar-menawar dengan ojek konvensional, banyak diskon murah yang ditawarkan di aplikasi. Tentunya, sebelum melanjutkan perjalanan ke Ambuang Kapua, saya sempatkan sarapan katupek kapau dan segelas teh manis di warung depan stasiun Pariaman. Maklum, saat itu belum sarapan. Saya rela meninggalkan menu breakfast hotel yang bervariasi dan berkelas, demi mengejar kereta terpagi agar perburuan ke Ambuang Kapua tidak hanya sesaat. Jadilah saya melanjutkan perjalanan menaiki ojek online menuju Kantor Nagari Ambuang Kapua, tujuan terakhir sebagaimana yang diinfokan Uni Polwan, sang informan, yang juga sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan saya, meski hubungan kekerabatan yang agak jauh. Setelah sampai di Kantor Nagari, saya bertemu dengan pegawai Kantor Nagari tersebut, dan menanyakan rumah H. Ismael, yang dulu pernah menjadi lurah di Ambuang Kapua. Tentu saja, semua masyarakat sekitar tidak asing dengan sosok beliau karena ketokohannya.

Sesampainya di rumah H. Ismael yang hanya berjarak 200 meter dari Kantor Nagari Ambuang Kapua, saya disambut dengan tangan terbuka, meskipun sebelumnya kami tidak saling mengenal. Akan tetapi, H. Ismael terlebih dahulu telah berjumpa dengan keponakannya, Uni Asniwati, sang Polwan, yang menceritakan bahwa pernah ada seseorang yang mengaku cucu dari Kakek Janah (Paman dari Hj. Nur Hayati, Istri H. Ismael) yang sedang mencari makam kakeknya di Ambuang Kapua, dalam sebuah media sosial. Berdasar info ini, kami langsung nyambung, dan H. Ismael bercerita tentang silsilah jalur kekerabatan antara saya dan beliau. Dari keponakan kakek, hanya satu yang tersisa di Ambuang Kapua, sementara lainnya ada yang sudah meninggal, dan ada yang tinggal di luar kota. Hj. Ni’mah, satu-satunya keponakan kakek yang masih hidup, yang tinggal di desa tersebut. Dan, dari beliaulah saya berharap bisa menemukan pusara kakek di Ambuang Kapua. Namun, harapan itu sirna sudah setelah mendapat kabar bahwa Hj. Ni’mah sedang ke luar kota. Padahal, hanya dia yang ingat di mana persis posisi pusara kakek berada.


bertemu H. Ismael di rukonya

Tempat tinggal kakek, tepatnya rumah H. Ismael yang dulu pernah didiami kakek setelah merantau dari Lampung, berada di tengah kebun kelapa. Rumah itu sudah berganti dengan bangunan baru. Tentu rumah lama tempat kakek saat beliau sakit dan dirawat oleh kemenakannya, H. Ismail dan Istri, sudah tidak layak huni, sehingga diratakan dengan tanah dan di sampingnya, berdiri bangunan rumah H. Ismael. Suasana pariaman yang dikelilingi pepohonan kelapa masih terlihat jelas menghampar di kanan-kiri rumah. Bahkan, saya sempat melihat seorang kakek membawa beruk (kera) pemetik buah kelapa, yang berkeliling kampung, yang memang dia menjual jasa memetikkan buah kelapa di pohon dengan kepiawaian kera milik sang kakek.



suasana rumah tempat kakek tinggal, dan kakek tua beserta beruk/kera pemetik kelapa saat beroperasi di depan rumah

Setelah lama bercengkerama dengan H. Ismael di rumah tumpah darah kakek tersebut, dibantu putera H. Ismail, Uda Fahmi, saya diantar menuju komplek pemakaman lama yang sudah tidak terawat, yang infonya kakek diistirahatkan di pemakaman tua ini. Namun, tetap saja saya belum bisa menemukan nisan makam kakek, karena tidak ada yang mengetahui persis selain Hj. Ni’mah yang saat itu sedang berada di Pekan Baru. Karena waktu saya tidak banyak, akhirnya saya pamit pulang ke kota padang, hanya saja untuk mendapatkan ojek online dari Ambuang Kapua ke kota tentu sulit. Dengan rela hati, putera H. Ismael lainnya, Uda Edi, mengantarkan saya ke stasiun KA Pariaman Ekspres terdekat, Stasiun Kurai Taji dengan motor kesayangannya. Stasiun ini lebih dekat dari desa kakek, hanya 10 km perjalanan, dibanding harus ke Stasiun Pariaman yang berjarak 14 km dari desa kakek. Sampai di stasiun, yang terletak di tepi pasar Kurai Taji, kereta baru berangkat 20 menit lalu, dan akhirnya saya menunggu kereta selanjutnya yang masih sekitar tiga jam lagi sambil menelusuri pasar tradisional Kurai Taji di Kota Pariaman tersebut dengan menyaksikan berbagai interaksi antara penjual dan pembeli, sambil menikmati masakan warung makan padang di tempat asalnya.


Stasiun dan Pasar Kurai Taji

Sebenarnya, tiga jam menunggu kedatangan kerata api selanjutnya masih cukup untuk mengunjungi berbagai destinasi wisata terdekat di Pariaman, seperti Pantai Gandoriah dan Makam Syaikh Burhanuddin Ulakan yang sebelumnya saya berencana akan berziarah ke sana. Namun, fisik sudah begitu lelah menelusuri desa kelahiran kakek, sejak sebelum subuh tiba. Ditambah lagi, saat di Ambuang Kapua, saya diajak oleh H. Ismael ke rumah kerabatnya yang sedang melaksanakan acara Batagak Kudo Kudo di desa Tandikek (Tandikat) yang melewati desa-desa kecil yang terbentang di dua kecamatan: Padang Sago dan Patamuan, dengan berboncengan motor menempuh perjalanan aspal desa, naik turun menyeberangi dua buang sungai sejauh 10 km, sembari menikmati gagahnya Gunung Singgalang nan tinggi menjulang. Bahkan, sebelum sampai di kediaman keluarga H. Ismael yang sedang menggelar acara Batagak Kudo Kudo, kami mampir di sebuah toko bangunan di Pasar Tandikek untuk membeli dua lembar seng sebagai ‘amplop’ untuk nyumbang saat mengunjungi acara kerabatnya tersebut, dan gulungan seng itu saya pangku di belakang dengan berboncengan motor. Beruntungnya, perjalanan ke lokasi acara hanya sejauh 2 km dari Pasar Tandikek, tidak sampai membuat kaku-kaku sendi tulang belakang yang lama menahan beban.

Batagak Kudo Kudo adalah tradisi Pariaman yang digelar ketika sebuah keluarga akan mendirikan rumah yang tinggal melengkapi bagian atap, yang biasanya berupa seng, karena di sebagian besar wilayah minang tidak ada rumah yang beratap genting tanah. Jika pun ada, hanya berupa lembaran galvanis atau seng yang sudah berbentuk genting modern. Tradisi ini dilakukan untuk mendapat dukungan moril dan materiil (selembar-dua lembar seng) dari keluarga, baik jauh maupun dekat. Namun, tuan rumah tetap menyiapkan jamuan prasmanan dan mendirikan tenda layaknya keluarga yang sedang melaksanakan acara khitanan atau pernikahan sederhana. Tak kalah menarik, keluarga yang berdatangan pun berpenampilan layaknya menghadiri pesta pernikahan. Sebenarnya, secara finansial, dukungan materiil dari keluarga ini tidak sebanding dengan biaya jamuan prasmanan dan tenda-tenda yang dipasang saat acara. Bisa dikatakan, biaya jamuan lebih besar daripada beberapa lembar seng yang diterima sebagai dukungan materiil untuk acara ini. Namun demikian, semangat gotong royong kekeluargaan dan upaya menjaga tradisi pariaman ini tetap terjaga turun temurun lebih penting dari segalanya.


suasana acara adat Batagak Kudo Kudo

Begitulah pengalaman sehari napak tilas ke pusara kakek, kampuang nan jauah di mato. Meskipun demikian, saya tetap puas (meskipun belum sangat puas) karena telah menemukan kampung halaman kakek, dan tentunya keluarga besar kakek yang masih menetap di Ambuang Kapua, Sungai Sariak, Kabupaten Pariaman. Target saya selanjut adalah membawa Ibu yang ada di Lampung dan anak isteri untuk mengunjungi pusara makam kakek, bukan sekadar komplek pemakaman kakek, atau setidaknya berjumpa saudara-saudara kakek dan kampung halamannya yang berada di sebuah desa di Pariaman.

Ranah Minang, rancak bana!

 

 

 

 

 

 

 


Leave a Comment