| 0 Comments | 625 Views
MENCARI PUSARA
KAKEK DI RANAH MINANG
Minangkabau adalah tempat lahir, wafat, dan disemayamkannya jasad
kakek, tepatnya ayah dari ibu. Ternyata tempat asal nasi padang, makanan
favorit saya dan istri, yang warungnya bertebaran hampir di seluruh tepi jalan kota-kota
besar dan kecil Indonesia adalah tanah tumpah darah kakek. Memang, dalam tubuh
ini mengalir darah minang dari ibu, karena ibu berdarah campuran Minang dan
Banten. Meskipun demikian, saya tidak pernah berjumpa dengan kakek yang asli
minang ini selama hidup saya. Bagaimana tidak, sejak ibu saya masih usia SD
sekitar tahun 70-an, kakek sudah pulang ke kampung halamannya meninggalkan
nenek dan keempat anaknya di Lampung. Layaknya pemuda Minangkabau, kakek
merantau dari kampung halamannya ke Lampung, hingga bertemu nenek dan membina
rumah tangga di sana. Barangkali kakek dan nenek ketika itu bercerai, kami pun
tidak tahu. Ibu dan saudara-saudaranya saat itu belum cukup dewasa memahami
cerita perpisahan mereka. Yang mereka tahu, kakek pergi tak pulang-pulang. Dan,
nenek pun tidak pernah bercerita tentang sosok kakek. Begitu pula jarak antara
Padang dan Lampung untuk saat itu terbilang sulit dijangkau, jangankan lewat
jalur udara, jalur darat atau laut pun masih perlu perjuangan berat untuk
menghubungkan dua daerah tersebut. Butuh niatan kuat untuk melakukan perjalanan
dari Lampung ke Padang atau sebaliknya.
Meskipun demikian, nenek pernah mengajarkan saya mantra Padang Pariaman,
sebuah sastra lisan tradisional yang sudah berakulturasi dengan Islam, yang konon
ceritanya biasa dirapalkan kakek untuk menyembuhkan anak-anaknya atau orang lain
yang baru “disapa” oleh makhluk halus, yang biasanya ditandai dengan demam
tinggi dan meracau. Dari sekian banyak cucunya, hanya saya yang diwarisi manto
tawa (mantra penawar) ini. Masih berbekas dalam ingatan saya, meskipun
tidak sempurna, mantra yang pernah diwariskan nenek dari kakek, yang ketika itu
saya masih berusia belasan tahun.
Bismillahirrahmanirrahim
Bismillahi tawasati fa talawarsati
Tasapo tasambet tategur kagiran
Tawa Allah, tawa Muhammad
Tawa baginda Rasulullah
Si tawa si dingin si keruh si kompe
Mantra ini tidak hanya dirapalkan, tetapi dibutuhkan juga peralatan
dan gerakan-gerakan tertentu yang disentuhkan ke tubuh si sakit, yang tidak
perlu saya ceritakan secara detil di sini. Tentunya ini rahasia perusahaan.
Namun, di era sekarang, pengobatan semakin modern, ketika anak-anak demam
langsung diatasi dengan obat penurun panas. Semakin mahal harga obat, semakin
manjur khasiatnya. Jika tiga sampai lima hari demam tidak turun, antibiotik
beraksi.
Kembali ke kisah kakek. Ibu pernah bercerita, kakek pernah pulang
ke Lampung saat pernikahan putri pertamanya, tahun 1974, setelah itu kembali ke
Padang. Info yang didapat dari tetangga kakek di Padang yang sama-sama merantau
di Lampung dan masih menetap di Lampung saat itu, ketika kakek kembali ke
Padang, kakek mengalami sakit yang menyebabkan beliau meninggal dunia.
Hubungan kami dengan kakek dan saudara-saudara kakek yang ada di
Padang benar-benar terputus. Sampai akhirnya, adik bungsu ibu (tante) yang saat
itu sudah menginjak usia SMA, pernah diajak ke Padang oleh tetangga kakek yang
masih tinggal di Lampung sekitar akhir tahun 80-an. Tentunya, dengan misi
mencari makam kakek dan saudara-saudara kakek yang berada di Padang, tepatnya
di Ambuang Kapua, sebuah desa kecil yang jaraknya sekitar 12 KM dari Kota
Pariaman. Misi pencarian pusara kakek oleh tante di pedalaman Pariaman
berhasil. Tante bertemu keluarga besar kakek dan disambut dengan baik, bahkan
di antar ke pusara kakek. Meskipun tante sempat tinggal beberapa hari di rumah
induk keluarga besar kakek, pertemuan hanya sebatas itu, setelah kembali ke
Lampung, komunikasi terputus kembali. Maklum, zaman belum secanggih saat ini.
Tidak ada alat komunikasi baik berupa telepon kabel maupun telepon seluler, apalagi
media sosial seperti: facebook, whatsapp, Instagram dan media untuk
eksis para netizen lainnya. Ditambah lagi, tetangga kakek dari Padang
yang pernah mengajak tante mencari keluarga di Padang, sudah meninggal dunia.
Jejak kekerabatan dengan keluarga kakek di Padang terputus.
30-an tahun setelah pertemuan tante dan keluarga besar kakek berlalu, saya mencoba akan mengulangi pencarian pusara kakek ini. Tentunya, di era komunikasi netizen yang sangat inovatif saat ini, pencarian ini bukan suatu yang sulit. Yang ada dibenak saya tentu membuat informasi tentang pencarian keluarga yang hilang, yang akhir-akhir ini banyak dilakukan di media sosial dan cara ini sudah banyak terbukti mujarab. Kalau di Yogyakarta, kita mengenal ada grup ICJ (Info Cegatan Jogja) yang sangat viral untuk menyebarkan informasi apapun di media sosial. Apalagi, informasi dari tante tentang desa, kecamatan, dan kabupaten tempat keluarga kakek sudah didapat. Bahkan, profesi keluarga kakek yang tinggal di desa tempat kakek dimakamkan cukup ternama, seorang kepala desa. Tentu tidak sulit menemukan informasi ini. Dengan berbekal media sosial, saya bergabung dalam sebuah grup kecamatan tempat keluarga besar kakek tinggal, Sungai Sariak. Saat pertama saya posting info tentang pencarian keluarga (06 Juni 2022), informasi dari tante belum begitu spesifik, sehingga belum menemukan titik terang. Bahkan, ada yang bilang kalau kakek saya masih hidup berdasar informasi dari netizen. Jelas ini bukan orang dimaksud, karena tante sudah pernah menemui pusara kakek.
Tidak patah arang, saya kembali mem-posting info tentang
pencarian keluarga (19 Januari 2023). Kali ini dengan informasi daerah yang
lebih spesifik. Wal hasil, apa yang saya posting mendapat respons yang
mendekati titik terang, bukan seperti respon pada posting-an saya
setengah tahun sebelumnya. Saat itu, ada seorang pensiunan Polwan di Polda
Sumatera Barat yang mengenali nama-nama beberapa orang yang saya infokan, dan
beliau mengenal baik dengan salah satunya, karena beliau merupakan keponakan
dari orang tersebut.
Akhirnya, berbekal info dari Uni Asniwati, sang polwan, saya berencana ke Pariaman mencari pusara kakek. Dan, kebetulan beberapa bulan lagi saya mendapat tugas kantor ke kota Padang. Ibarat pepatah, sambil menyelam minum air, di sela-sela tugas kantor pada sesi yang bisa saya tinggalkan tanpa kehadiran saya, napak tilas ke makam kakek saya lakukan. Sebelum ke padang, tentu berbagai informasi terkait transportasi dari kota Padang ke Pariaman sudah saya kantongi. Itu juga tidak lepas dari informasi Uni Asniwati.
postingan kedua, yang mendapat respon dari Uni Asniwati dan mulai menemukan titik terang
Hari senin, 05 Juni 2023 (tepat satu tahun setelah saya memposting pertama kali info tentang pencarian keluarga) saya memulai perjalanan ke kampung kakek. Kereta Pariaman Ekspres (KA Sibinuang) adalah alternatif transportasi tercepat dan termurah untuk menuju Pariaman. Kereta ini beroperasi sehari empat kali. Jauh hari sebelum sampai kota Padang, saya sudah membeli tiket KA Pariaman Ekspres dengan rute Padang ke Pariaman, dan sebaliknya, secara online. Yang saya pilih perjalanan kereta pertama, pukul 05.40. Tentunya saya sudah bersiap ke Stasiun Padang sebelum adzan subuh berkumandang, dengan memesan ojek online dari hotel. Perjalanan dari stasiun Kota Padang ke Stasiun Pariaman memakan waktu sekitar 1 jam 45 menit, yang berjarak sekitar 50-an KM, dan itu semua hanya butuh biaya lima ribu rupiah. Sebenarnya, tujuan terjauh kereta ini adalah Stasiun Naras, satu perhentian lagi setelah Stasiun Pariaman. Akan tetapi, banyak penumpang yang sudah turun di Stasiun Pariaman, karena terdekat menuju pusat administratif pemerintah Kota Pariaman. Moda transportasi rakyat yang sungguh memikat. Namun, untuk para pekerja yang menggunakan transportasi ini, mereka harus rela bersiap sebelum subuh untuk berangkat ke stasiun, atau maksimal setelah solat subuh langsung tancap gas ke stasiun. Hal ini mengingat trayek kedua Padang ke Pariaman sekitar pukul 09.55 pagi, yang tentunya sudah jauh melewati jam masuk kantor. Dengan demikian, meskipun trayek pertama dimulai setelah solat subuh, kerata ini tetap ramai diisi oleh pekerja kantor yang kebetulan kantor mereka berada di Pariaman. Atas dasar ini pula, trayek kereta pertama saya pilih. Jika saya ambil pemberangkatan kedua, sudah teramat siang, dan tentu waktunya sangat sedikit untuk mencari keluarga dan pusara kakek, sementara sore hari saya sudah harus bergabung di acara kantor di Kantor Gubernur Sumatera Barat.
Setelah tiba di Kota Pariaman, saya masih harus menempuh perjalanan
sekitar 14 km ke Nagari (wilayah administratif setingkat Kelurahan) Ambuang
Kapua, yang terletak di Kecamatan VII Koto
Sungai Sarik, Kabupaten Padang Pariaman. Lagi-lagi, transportasi ojek online
yang saya manfaatkan, selain tidak perlu tawar-menawar dengan ojek
konvensional, banyak diskon murah yang ditawarkan di aplikasi. Tentunya,
sebelum melanjutkan perjalanan ke Ambuang Kapua, saya sempatkan sarapan katupek
kapau dan segelas teh manis di warung depan stasiun Pariaman. Maklum, saat
itu belum sarapan. Saya rela meninggalkan menu breakfast hotel yang
bervariasi dan berkelas, demi mengejar kereta terpagi agar perburuan ke Ambuang
Kapua tidak hanya sesaat. Jadilah saya melanjutkan perjalanan menaiki ojek
online menuju Kantor Nagari Ambuang Kapua, tujuan terakhir sebagaimana yang
diinfokan Uni Polwan, sang informan, yang juga sebenarnya masih ada hubungan
keluarga dengan saya, meski hubungan kekerabatan yang agak jauh. Setelah sampai
di Kantor Nagari, saya bertemu dengan pegawai Kantor Nagari tersebut, dan
menanyakan rumah H. Ismael, yang dulu pernah menjadi lurah di Ambuang Kapua.
Tentu saja, semua masyarakat sekitar tidak asing dengan sosok beliau karena
ketokohannya.
Sesampainya di rumah H. Ismael yang hanya berjarak 200 meter dari Kantor Nagari Ambuang Kapua, saya disambut dengan tangan terbuka, meskipun sebelumnya kami tidak saling mengenal. Akan tetapi, H. Ismael terlebih dahulu telah berjumpa dengan keponakannya, Uni Asniwati, sang Polwan, yang menceritakan bahwa pernah ada seseorang yang mengaku cucu dari Kakek Janah (Paman dari Hj. Nur Hayati, Istri H. Ismael) yang sedang mencari makam kakeknya di Ambuang Kapua, dalam sebuah media sosial. Berdasar info ini, kami langsung nyambung, dan H. Ismael bercerita tentang silsilah jalur kekerabatan antara saya dan beliau. Dari keponakan kakek, hanya satu yang tersisa di Ambuang Kapua, sementara lainnya ada yang sudah meninggal, dan ada yang tinggal di luar kota. Hj. Ni’mah, satu-satunya keponakan kakek yang masih hidup, yang tinggal di desa tersebut. Dan, dari beliaulah saya berharap bisa menemukan pusara kakek di Ambuang Kapua. Namun, harapan itu sirna sudah setelah mendapat kabar bahwa Hj. Ni’mah sedang ke luar kota. Padahal, hanya dia yang ingat di mana persis posisi pusara kakek berada.
bertemu H. Ismael di rukonya
Tempat tinggal kakek, tepatnya rumah H. Ismael yang dulu pernah didiami kakek setelah merantau dari Lampung, berada di tengah kebun kelapa. Rumah itu sudah berganti dengan bangunan baru. Tentu rumah lama tempat kakek saat beliau sakit dan dirawat oleh kemenakannya, H. Ismail dan Istri, sudah tidak layak huni, sehingga diratakan dengan tanah dan di sampingnya, berdiri bangunan rumah H. Ismael. Suasana pariaman yang dikelilingi pepohonan kelapa masih terlihat jelas menghampar di kanan-kiri rumah. Bahkan, saya sempat melihat seorang kakek membawa beruk (kera) pemetik buah kelapa, yang berkeliling kampung, yang memang dia menjual jasa memetikkan buah kelapa di pohon dengan kepiawaian kera milik sang kakek.
suasana rumah tempat kakek tinggal, dan kakek tua beserta beruk/kera pemetik kelapa saat beroperasi di depan rumah
Setelah lama bercengkerama dengan H. Ismael di rumah tumpah darah kakek tersebut, dibantu putera H. Ismail, Uda Fahmi, saya diantar menuju komplek pemakaman lama yang sudah tidak terawat, yang infonya kakek diistirahatkan di pemakaman tua ini. Namun, tetap saja saya belum bisa menemukan nisan makam kakek, karena tidak ada yang mengetahui persis selain Hj. Ni’mah yang saat itu sedang berada di Pekan Baru. Karena waktu saya tidak banyak, akhirnya saya pamit pulang ke kota padang, hanya saja untuk mendapatkan ojek online dari Ambuang Kapua ke kota tentu sulit. Dengan rela hati, putera H. Ismael lainnya, Uda Edi, mengantarkan saya ke stasiun KA Pariaman Ekspres terdekat, Stasiun Kurai Taji dengan motor kesayangannya. Stasiun ini lebih dekat dari desa kakek, hanya 10 km perjalanan, dibanding harus ke Stasiun Pariaman yang berjarak 14 km dari desa kakek. Sampai di stasiun, yang terletak di tepi pasar Kurai Taji, kereta baru berangkat 20 menit lalu, dan akhirnya saya menunggu kereta selanjutnya yang masih sekitar tiga jam lagi sambil menelusuri pasar tradisional Kurai Taji di Kota Pariaman tersebut dengan menyaksikan berbagai interaksi antara penjual dan pembeli, sambil menikmati masakan warung makan padang di tempat asalnya.
Stasiun dan Pasar Kurai Taji
Sebenarnya, tiga jam menunggu kedatangan kerata
api selanjutnya masih cukup untuk mengunjungi berbagai destinasi wisata
terdekat di Pariaman, seperti Pantai Gandoriah
dan Makam Syaikh
Burhanuddin Ulakan yang sebelumnya saya berencana akan berziarah ke
sana. Namun, fisik sudah begitu lelah menelusuri desa kelahiran kakek, sejak
sebelum subuh tiba. Ditambah lagi, saat di Ambuang Kapua, saya diajak oleh H.
Ismael ke rumah kerabatnya yang sedang melaksanakan acara Batagak
Kudo Kudo di desa Tandikek (Tandikat) yang melewati desa-desa
kecil yang terbentang di dua kecamatan: Padang Sago dan Patamuan, dengan berboncengan
motor menempuh perjalanan aspal desa, naik turun menyeberangi dua buang sungai
sejauh 10 km, sembari menikmati gagahnya Gunung Singgalang nan tinggi menjulang.
Bahkan, sebelum sampai di kediaman keluarga H. Ismael yang sedang menggelar
acara Batagak Kudo Kudo, kami mampir di sebuah toko bangunan di Pasar
Tandikek untuk membeli dua lembar seng sebagai ‘amplop’ untuk nyumbang
saat mengunjungi acara kerabatnya tersebut, dan gulungan seng itu saya pangku
di belakang dengan berboncengan motor. Beruntungnya, perjalanan ke lokasi acara
hanya sejauh 2 km dari Pasar Tandikek, tidak sampai membuat kaku-kaku sendi
tulang belakang yang lama menahan beban.
Batagak Kudo Kudo adalah tradisi Pariaman yang digelar ketika sebuah keluarga akan mendirikan rumah yang tinggal melengkapi bagian atap, yang biasanya berupa seng, karena di sebagian besar wilayah minang tidak ada rumah yang beratap genting tanah. Jika pun ada, hanya berupa lembaran galvanis atau seng yang sudah berbentuk genting modern. Tradisi ini dilakukan untuk mendapat dukungan moril dan materiil (selembar-dua lembar seng) dari keluarga, baik jauh maupun dekat. Namun, tuan rumah tetap menyiapkan jamuan prasmanan dan mendirikan tenda layaknya keluarga yang sedang melaksanakan acara khitanan atau pernikahan sederhana. Tak kalah menarik, keluarga yang berdatangan pun berpenampilan layaknya menghadiri pesta pernikahan. Sebenarnya, secara finansial, dukungan materiil dari keluarga ini tidak sebanding dengan biaya jamuan prasmanan dan tenda-tenda yang dipasang saat acara. Bisa dikatakan, biaya jamuan lebih besar daripada beberapa lembar seng yang diterima sebagai dukungan materiil untuk acara ini. Namun demikian, semangat gotong royong kekeluargaan dan upaya menjaga tradisi pariaman ini tetap terjaga turun temurun lebih penting dari segalanya.
Begitulah pengalaman sehari napak tilas ke
pusara kakek, kampuang nan jauah di mato. Meskipun demikian, saya tetap
puas (meskipun belum sangat puas) karena telah menemukan kampung halaman kakek,
dan tentunya keluarga besar kakek yang masih menetap di Ambuang Kapua, Sungai
Sariak, Kabupaten Pariaman. Target saya selanjut adalah membawa Ibu yang ada di
Lampung dan anak isteri untuk mengunjungi pusara makam kakek, bukan sekadar
komplek pemakaman kakek, atau setidaknya berjumpa saudara-saudara kakek dan
kampung halamannya yang berada di sebuah desa di Pariaman.
Ranah Minang, rancak bana!
Leave a Comment