| 0 Comments | 30 Views
Di balik rempah yang terjajar dan remang cahaya,
tercium aroma abad yang tak lagi berkata-kata.
Langit Istanbul sudah menggelap ketika aku melangkah ke lorong-lorong tua Misir Carsisi (Egyptian Bazaar), pasar rempah yang berdiri sejak tahun 1664. Ini kunjungan terakhirku di kota yang selama beberapa hari terakhir menyajikan sejarah, ibadah, dan rasa dengan caranya sendiri. Di sela segala keagungan masjid dan museum, pasar ini adalah sisi Istanbul yang hidup dan mengalir.
Dulu, rempah dari Timur datang lewat laut dan berlabuh di dermaga Mesir, lalu dibawa ke kota ini dan dijajakan di sini. Itulah sebabnya pasar ini disebut “Pasar Mesir.” Tapi ia bukan sekadar pasar. Ia adalah simpul dari perjalanan zaman—dari para saudagar Arab dan Persia, pedagang India dan Uzbek, hingga penulis dan pelancong Eropa yang menuliskan kekaguman mereka pada kekayaan Timur.
Malam membuat segalanya lebih tenang. Tanpa keramaian siang hari, suara langkah jadi lebih terasa. Batu-batu lantainya menyimpan jejak berabad-abad, dan dinding-dindingnya seperti tahu bahwa waktu hanya mampir, sementara aroma akan tetap tinggal.
Aku melewati kios-kios yang sudah mulai tutup. Tapi sisa aromanya masih lekat. Cengkeh dari Zanzibar, kayu manis dari Sri Lanka, pala dari Maluku, dan saffron dari Iran—semua membawa cerita yang lebih panjang dari usia manusia. Dan aku, hanya seorang musafir yang kebagian mencium sisa sejarahnya.
Di sebuah sudut, terpampang beberapa benda lawas—timbangan kuningan, buku catatan pedagang tua, dan botol kaca dengan label pudar. Ini bukan museum, tapi fragmen museum yang tidak dikurung kaca. Semua bisa disentuh, diraba, dibeli—seperti sejarah yang belum selesai ditulis.
Aku terdiam cukup lama di depan botol kecil berisi rose attar—minyak mawar murni yang katanya bisa bertahan puluhan tahun. Sejenak aku membayangkan seorang saudagar Damaskus, berabad lalu, menyimpannya di saku jubah, membawanya ke Bukhara atau Andalusia. Mungkin ia pun merasakan yang sama: bahwa aroma kadang lebih abadi daripada nama.
Pasar ini pernah menyuplai kebutuhan istana Utsmani. Para sultan pun menikmati teh rempah dan madu yang berasal dari sini. Dalam diam malam ini, aku merasa sedang berjalan di antara bayang-bayang mereka. Mungkin bukan jejaknya, tapi jejak suasana yang sama: Istanbul yang tak pernah benar-benar tidur.
Aku membeli sejumput kecil habbatussauda, bukan untuk oleh-oleh, tapi sebagai pengingat bahwa perjalanan ini pernah ada. Bahwa sejarah bukan sekadar bangunan tua atau kitab kuno, tapi juga pada hal-hal kecil yang bisa dibawa pulang.
Di luar pasar, malam sudah matang. Langkahku kembali ke penginapan terasa berat. Bukan karena lelah, tapi karena aku tahu: besok aku pulang. Dan pasar ini, dengan segala aroma dan sunyinya, adalah pintu terakhir Istanbul yang menutup dengan pelan.
Di ujung rempah aku temukan yang fana dan abadi,
bahwa sejarah juga bisa dikecap—bukan hanya dihafal atau dicari.
Leave a Comment