| 0 Comments | 333 Views

Card Image

Komplek Makam Raja Ali Haji (P. Penyengat, 25 Feb 2023)

Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan warga negara Indonesia. Bisa dibayangkan jika tanpa bahasa pemersatu ini, kita sebagai penduduk negara Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau terpisah dan 720 bahasa daerah (versi Ethnologue) akan kesulitan berkomunikasi satu sama lain. Dengan hadirnya bahasa resmi negara, yaitu bahasa Indonesia, komunikasi antar warga negara kita tercinta ini bisa terjalin.

Berbicara tentang bahasa Indonesia, setidaknya kita sudah mengetahui sejarah kapan pertama kali bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi. Dalam catatan sejarah, bahasa Indonesia pertama kali dideklarasikan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928. Tanggal ini mengacu pada Kongres Pemuda II yang lazim dikenal dengan Hari Sumpah Pemuda. Salah satu butir kongres tersebut ialah “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”

Yang tidak kalah penting untuk diketahui, bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan dalam isi sumpah pemuda tersebut tidak terlepas dari jasa besar Raja Ali Haji (1808-1873). Ia adalah ulamasejarawan, dan pujangga abad ke-19 keturunan Bugis dan Melayu kelahiran Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Dari hasil pemikiran beliaulah dasar-dasar bahasa Indonesia itu tersusun. Kala itu, bahasa Indonesia masih berupa tata bahasa Melayu yang terhimpun dalam buku Pedoman Bahasa. Bahasa Melayu standar (juga disebut bahasa Melayu baku) itulah lah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia, tanggal 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia

Dalam blog ini, penulis tidak ingin membahas siapa tokoh pionir bahasa Indonesia ini, karena kiprah dan karya beliau sudah banyak diuraikan di laman-laman nasional maupun internasional. Penulis hanya akan menceritakan perjalanan penulis ke sebuah pulau historis, Pulau Penyengat, tempat sang founding Father Bahasa Indonesia dilahirkan, wafat, dan dimakamkan di pulau kecil tersebut. Meskipun secara geografis pulau tersebut teramat kecil, hanya seluas 2 km2, tetapi sangat berkontribusi bagi munculnya bahasa nasional kita, yang menjadikan salah satu alasan penulis mengarungi lautan untuk berziarah ke pulau tersebut.

Untuk tiba di Pulau Penyengat, setidaknya kita harus memulai perjalanan dari Pulau Bintan, yang di pulau tersebut terletak ibukota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjung Pinang. Namun, perjalanan kami ke pulang mungil bersejarah tersebut dimulai dari Pulau Batam, dilanjutkan ke Pulau Bintan, lalu menyeberang ke Pulau Penyengat. Ya, kita harus menempuh perjalanan laut dua kali berganti armada: kapal Feri dan perahu pompong.


rute penyebrangan Pelabuhan Sri Bintan Pura ke Pulau Penyengat; rute penyebrangan Pelabuhan Telaga Punggur ke Sri Bintan Pura

Saat itu, kebetulan kami sedang berada di Pulau Batam untuk melaksanakan tugas kantor beberapa hari. Lazimnya, sambil menunggu jadwal penerbangan pulang ke Jawa, ada beberapa saat yang bisa digunakan untuk city tour sekadar untuk melepas penat setelah beberapa hari bekerja. Pelabuhan Telaga Punggur di Pulau Batam lah tujuan awal kami untuk menyeberang ke Tanjung Pinang di Pulau Bintan.

Perjalanan laut dari Pelabuhan Telaga Punggur, Pulau Batam menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura, Pulau Bintan ditempuh menggunakan Kapal Feri MV. Oceana dengan tarif Rp. 69.000 plus biaya peron masuk pelabuhan Rp.10.000. Kapal feri yang kami naiki terbilang cukup besar untuk penyeberangan singkat yang menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam hingga turun ke dermaga. Kabin kapal feri ini full Ac yang memuat sekitar 250 penumpang. Jika penumpang bosan dengan suasana kabin, mereka bisa naik ke geladak kapal untuk menikmati perairan Laut Cina Selatan yang mengelilingi pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau. Saat itu kami serombongan yang terdiri sekitar 45 orang memilih perjalanan trayek pertama, sekitar pukul 07.30 pagi dan pukul sembilan lebih beberapa menit kami sudah tiba di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang, tepatnya di Pulau Bintan.

Setelah berlabuh di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang, kami perlu berjalan kaki selama 10 menit menuju Dermaga Penyengat tempat pelabuhan perahu pompong yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Penyengat. Perahu kecil terbuat dari kayu yang biasa dipakai nelayan perairan Kepulauan Riau ini bisa memuat sekitar 10-15 orang dewasa dengan tarif per orang Rp. 8000, atau tarif rombongan satu perahu sekitar Rp. 100.000. dengan waktu tempuh sekitar 15 menit.

tiket penyebrangan 

Ketika tiba di pelabuhan kuning Pulau Penyengat, tujuan pertama kami adalah Masjid Raya Sultan Riau yang konon bahan perekat bangunannya terbuat dari campuran putih telur. Masjid bersejarah berwarna kuning cerah ini dibangun sekitar tahun 1832 M oleh Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Lingga. Masjid ini menjadi pusat penyebaran Islam di Melayu dan banyak didatangkan beberapa ulama dari luar pulau, di antaranya Syekh Syihabuddin bin Syekh Arsyad Al Banjari yang makamnya berada di bagian belakang Masjid Raya Sultan Riau ini. Menurut warga setempat, setiap bulan Jumadil Awwal, di masjid ini selalu diadakan acara besar, yaitu haul, untuk memperingati wafatnya Syaikh Syihabuddin Al-Banjari, yang dihadiri jajaran pejabat provinsi maupun ormas di kepulauan Riau. Tidak hanya itu, keturunan dari Syaikh Syihabuddin Al-Banjari yang berada di Martapura, Kalimantan Selatan pun tidak pernah absen mengikuti acara haul akbar ini, yang jumlahnya sekitar 3-5 bus.

Setelah menikmati indahnya arsitektur Masjid Raya Sultan Riau, kami melanjutkan perjalanan menuju Makam Raja Ali Haji yang berjarak sekitar 300 meter dan kami tempuh dengan berjalan kaki. Ada juga di antara kami yang naik bentor khas pulau penyengat. Akhirnya, setelah berjalan kaki selama 5 menit, kami sudah sampai di Makam Raja Ali Haji, sang founding father bahasa Indonesia. Dalam makam ini, disemayamkan juga beberapa tokoh Kerajaan Melayu di Pulau Penyengat, di antaranya, Raja Hamidah (Permaisuri Sultan Mahmud Shah III, Kerajaan Riau Lingga), Raja Ahmad (penasihat kerajaan), Raja Abdullah Yom Riau-Lingga, Raja Aisyah (Permaisuri), dan kerabat-kerabat kerajaan Melayu-Lingga lainnya. Perlu diketahui bawa sebutan “Raja” pada nama depan tokoh-tokoh melayu ini bukan bermakna pemimpin kerajaan, atau suami dari permaisuri, tetapi bisa bermakna ‘tuan’ atau ‘puan’ sebagai nama depan kehormatan. Adapun untuk raja, warga melayu bisa memanggilnya dengan “Sultan” di depan nama raja tersebut.



suasana bagian dalam makam yang bertulisan lirik-lirik gurindam dua belas karya Raja Ali Haji

Dalam komplek makam ini, terdapat satu bangunan utama yang di dalamnya bersemayam jasad Raja Hamidah (Engku Putri), seorang permaisuri Sultan kerajaan Melayu-Lingga, yang menjadi awal mula kehidupan Pulau Penyengat. Bagaimana tidak? Pulau Penyengat ini sejatinya adalah mahar/mas kawin untuk sang permaisuri, Raja Hamidah, dari sang Raja, Sultan Mahmud Shah III, sebagai bukti ketulusan cintanya. Dalam bangunan makam utama (khusuh makam Raja Hamidah) terdapat prasasti Gurindam Dua Belas mahakarya Raja Ali Haji yang fenomenal di kalangan pujangga Indonesia, yang mengelilingi bangunan makam. Namun demikian, makam Raja Ali Haji, sang pahlawan nasional sekaligus penggagas bahasa Indonesia ini berada di luar bangunan utama makam, dengan tetap bernisan istimewa seperti nisan makam Raja Hamidah.



Usai berkirim doa untuk para tokoh Kerajaan Melayu-Lingga di komplek makam ini, kami menelusuri jalan setapak di Pulau Penyengat dan menjumpai beberapa bangunan bersejarah, seperti Istana Tengku Bilik, Komplek Makam Raja Jafar, dan terakhir kami singgah di Balai Adat Melayu Pulau Penyengat, berupa museum peninggalan kerajaan Melayu-Lingga dan beberapa diorama Raja Ali Haji.

Setelah puas menikmati peninggalan bersejarah di Pulau Penyengat, akhirnya kami kembali ke Masjid Raya Sultan Riau untuk melaksanakan salat dhuhur berjamaah. Salat Dhuhur di Masjid Raya Sultan Riau kali ini agak berbeda, karena setelah selesai jamaah, tokoh masyarakat yang memandu kami meminta salah satu dari kami untuk memberi kultum di hadapan jamaah, karena mengetahui kami berasal dari rombongan universitas Islam tertua di Indonesia. 


suasana pelataran masjid Raya Sultan Riau dengan background menara dan makam Syaikh Syihabuddin Al-Banjary


Leave a Comment