| 0 Comments | 333 Views
Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan warga negara Indonesia.
Bisa dibayangkan jika tanpa bahasa pemersatu ini, kita sebagai penduduk negara
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau terpisah dan 720 bahasa daerah (versi Ethnologue)
akan kesulitan berkomunikasi satu sama lain. Dengan hadirnya bahasa resmi
negara, yaitu bahasa Indonesia, komunikasi antar warga negara kita tercinta ini
bisa terjalin.
Berbicara tentang bahasa Indonesia, setidaknya kita sudah
mengetahui sejarah kapan pertama kali bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa
resmi. Dalam catatan sejarah, bahasa Indonesia pertama kali dideklarasikan
sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober
1928. Tanggal ini mengacu pada Kongres Pemuda II yang lazim dikenal dengan Hari
Sumpah Pemuda. Salah satu butir kongres tersebut ialah “Kami poetra dan
poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Yang tidak kalah penting untuk diketahui, bahasa
Indonesia yang menjadi bahasa persatuan dalam isi sumpah pemuda tersebut tidak
terlepas dari jasa besar Raja Ali Haji
(1808-1873). Ia adalah ulama, sejarawan,
dan pujangga abad ke-19 keturunan Bugis dan Melayu
kelahiran Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Dari hasil pemikiran beliaulah dasar-dasar bahasa
Indonesia itu tersusun. Kala itu, bahasa Indonesia masih berupa tata bahasa
Melayu yang terhimpun dalam buku Pedoman
Bahasa. Bahasa Melayu standar (juga disebut bahasa Melayu baku) itulah lah
yang dalam Kongres Pemuda Indonesia, tanggal 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia.
Dalam blog ini, penulis tidak ingin membahas siapa tokoh pionir
bahasa Indonesia ini, karena kiprah dan karya beliau sudah banyak diuraikan di laman-laman
nasional maupun internasional. Penulis
hanya akan menceritakan perjalanan penulis ke sebuah pulau historis, Pulau
Penyengat, tempat sang founding Father Bahasa Indonesia
dilahirkan, wafat, dan dimakamkan di pulau kecil tersebut. Meskipun secara
geografis pulau tersebut teramat kecil, hanya seluas 2 km2, tetapi
sangat berkontribusi bagi munculnya bahasa nasional kita, yang menjadikan salah
satu alasan penulis mengarungi lautan untuk berziarah ke pulau tersebut.
Untuk tiba di Pulau Penyengat, setidaknya kita harus memulai perjalanan dari Pulau Bintan, yang di pulau tersebut terletak ibukota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjung Pinang. Namun, perjalanan kami ke pulang mungil bersejarah tersebut dimulai dari Pulau Batam, dilanjutkan ke Pulau Bintan, lalu menyeberang ke Pulau Penyengat. Ya, kita harus menempuh perjalanan laut dua kali berganti armada: kapal Feri dan perahu pompong.
Saat itu, kebetulan kami sedang berada di Pulau Batam untuk
melaksanakan tugas kantor beberapa hari. Lazimnya, sambil menunggu jadwal
penerbangan pulang ke Jawa, ada beberapa saat yang bisa digunakan untuk city
tour sekadar untuk melepas penat setelah beberapa hari bekerja. Pelabuhan
Telaga Punggur di Pulau Batam lah tujuan awal kami untuk menyeberang ke Tanjung
Pinang di Pulau Bintan.
Perjalanan laut dari Pelabuhan Telaga Punggur, Pulau Batam menuju
Pelabuhan Sri Bintan Pura, Pulau Bintan ditempuh menggunakan Kapal Feri MV.
Oceana dengan tarif Rp. 69.000 plus biaya peron masuk pelabuhan Rp.10.000.
Kapal feri yang kami naiki terbilang cukup besar untuk penyeberangan singkat
yang menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam hingga turun ke dermaga. Kabin kapal
feri ini full Ac yang memuat sekitar 250 penumpang. Jika penumpang bosan
dengan suasana kabin, mereka bisa naik ke geladak kapal untuk menikmati
perairan Laut Cina Selatan yang mengelilingi pulau-pulau kecil di Kepulauan
Riau. Saat itu kami serombongan yang terdiri sekitar 45 orang memilih
perjalanan trayek pertama, sekitar pukul 07.30 pagi dan pukul sembilan lebih beberapa
menit kami sudah tiba di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang, tepatnya di
Pulau Bintan.
Setelah berlabuh di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang, kami perlu berjalan kaki selama 10 menit menuju Dermaga Penyengat tempat pelabuhan perahu pompong yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Penyengat. Perahu kecil terbuat dari kayu yang biasa dipakai nelayan perairan Kepulauan Riau ini bisa memuat sekitar 10-15 orang dewasa dengan tarif per orang Rp. 8000, atau tarif rombongan satu perahu sekitar Rp. 100.000. dengan waktu tempuh sekitar 15 menit.
tiket penyebrangan
Ketika tiba di pelabuhan kuning Pulau Penyengat, tujuan pertama
kami adalah Masjid Raya Sultan
Riau yang konon bahan perekat bangunannya terbuat dari campuran putih
telur. Masjid bersejarah berwarna kuning cerah ini dibangun sekitar tahun 1832
M oleh Yang Dipertuan Muda Raja
Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Lingga. Masjid ini
menjadi pusat penyebaran Islam di Melayu dan banyak didatangkan beberapa ulama
dari luar pulau, di antaranya Syekh
Syihabuddin bin Syekh Arsyad Al Banjari yang makamnya berada di bagian belakang
Masjid Raya Sultan Riau ini. Menurut warga setempat, setiap bulan Jumadil
Awwal, di masjid ini selalu diadakan acara besar, yaitu haul, untuk
memperingati wafatnya Syaikh Syihabuddin Al-Banjari, yang dihadiri jajaran
pejabat provinsi maupun ormas di kepulauan Riau. Tidak hanya itu, keturunan
dari Syaikh Syihabuddin Al-Banjari yang berada di Martapura, Kalimantan Selatan
pun tidak pernah absen mengikuti acara haul akbar ini, yang jumlahnya sekitar
3-5 bus.
Setelah menikmati indahnya arsitektur Masjid Raya Sultan Riau, kami melanjutkan perjalanan menuju Makam Raja Ali Haji yang berjarak sekitar 300 meter dan kami tempuh dengan berjalan kaki. Ada juga di antara kami yang naik bentor khas pulau penyengat. Akhirnya, setelah berjalan kaki selama 5 menit, kami sudah sampai di Makam Raja Ali Haji, sang founding father bahasa Indonesia. Dalam makam ini, disemayamkan juga beberapa tokoh Kerajaan Melayu di Pulau Penyengat, di antaranya, Raja Hamidah (Permaisuri Sultan Mahmud Shah III, Kerajaan Riau Lingga), Raja Ahmad (penasihat kerajaan), Raja Abdullah Yom Riau-Lingga, Raja Aisyah (Permaisuri), dan kerabat-kerabat kerajaan Melayu-Lingga lainnya. Perlu diketahui bawa sebutan “Raja” pada nama depan tokoh-tokoh melayu ini bukan bermakna pemimpin kerajaan, atau suami dari permaisuri, tetapi bisa bermakna ‘tuan’ atau ‘puan’ sebagai nama depan kehormatan. Adapun untuk raja, warga melayu bisa memanggilnya dengan “Sultan” di depan nama raja tersebut.
suasana bagian dalam makam yang bertulisan lirik-lirik gurindam dua belas karya Raja Ali Haji
Dalam komplek makam ini, terdapat satu bangunan utama yang di dalamnya bersemayam jasad Raja Hamidah (Engku Putri), seorang permaisuri Sultan kerajaan Melayu-Lingga, yang menjadi awal mula kehidupan Pulau Penyengat. Bagaimana tidak? Pulau Penyengat ini sejatinya adalah mahar/mas kawin untuk sang permaisuri, Raja Hamidah, dari sang Raja, Sultan Mahmud Shah III, sebagai bukti ketulusan cintanya. Dalam bangunan makam utama (khusuh makam Raja Hamidah) terdapat prasasti Gurindam Dua Belas mahakarya Raja Ali Haji yang fenomenal di kalangan pujangga Indonesia, yang mengelilingi bangunan makam. Namun demikian, makam Raja Ali Haji, sang pahlawan nasional sekaligus penggagas bahasa Indonesia ini berada di luar bangunan utama makam, dengan tetap bernisan istimewa seperti nisan makam Raja Hamidah.
Usai berkirim doa untuk para tokoh Kerajaan Melayu-Lingga di
komplek makam ini, kami menelusuri jalan setapak di Pulau Penyengat dan
menjumpai beberapa bangunan bersejarah, seperti Istana Tengku Bilik, Komplek
Makam Raja Jafar, dan terakhir kami singgah di Balai Adat Melayu Pulau
Penyengat, berupa museum peninggalan kerajaan Melayu-Lingga dan beberapa
diorama Raja Ali Haji.
Setelah puas menikmati peninggalan bersejarah di Pulau Penyengat, akhirnya kami kembali ke Masjid Raya Sultan Riau untuk melaksanakan salat dhuhur berjamaah. Salat Dhuhur di Masjid Raya Sultan Riau kali ini agak berbeda, karena setelah selesai jamaah, tokoh masyarakat yang memandu kami meminta salah satu dari kami untuk memberi kultum di hadapan jamaah, karena mengetahui kami berasal dari rombongan universitas Islam tertua di Indonesia.
Leave a Comment