| 0 Comments | 280 Views
Masih teringat perjalanan yang panjang dan menantang dari Banda Aceh ke Pulau Weh Sabang, lalu ke Pulau Rubiah. Perjalanan dimulai dengan menaiki mobil sewaan menuju Pelabuhan Ulee Lheu, Banda Aceh menuju Pelabuhan Balohan, Sabang, selama 45 menit perjalanan dengan kapal fery. Setelah mendarat di Pelabuhan Balohan, kami masih harus menggunakan mobil selama 45 menit untuk sampai di Pantai Iboih. Jalur yang berliku membuat saya sedikit mabuk. Akhirnya sampai juga ke tempat istirahat di tepi Pantai Iboih. Untuk menyeberang ke Pulau Rubiah, disediakan boat kaca dengan biaya kurang lebih 500 ribu rupiah lengkap dengan pelampung. Pilihan boat kaca untuk menyeberangi pulau Rubiah adalah agar dapat melihat kondisi laut yang bening dan berkilau. Air lautnya yang bening berkilau saat diterpa sinar matahari seolah ingin menunjukkan segala kekayaan hayati yang terkandung di dalamnya. Deretan karang di tengah pasir putih yang dihiasi ikan-ikan kecil membuat pemandangan laut menjadi sangat indah dan menarik.
Setelah menyeberang ke Pulau Rubiah, kita dapat menikmati pemandangan alam yang menawan. Laut biru yang luas berpadu dengan pantai berpasir putih dan perbukitan hijau yang menawan. Wisatawan dapat berkeliling pulau, snorkeling, dan melihat terumbu karang yang dangkal dan berwarna-warni. Pulau Rubiah juga terkenal dengan wisata bahari dimana wisatawan dapat melihat sarang belut moray yang indah dan beberapa anemone gelembung fluoresen merah muda.
Pemandangan terumbu karang dari boat kaca menuju pulau Rubiah Sumber: Travelingyuk.com
Selain
itu, Pulau Rubiah memiliki sejarah tersendiri, terutama sebagai tempat
karantina bagi jamaah haji Indonesia wilayah Sumatera pada tahun 1920 hingga
tahun 1970-an. Sementara jamaah
haji di pulau Jawa dikarantina di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, lalu
diberangkatkan dari Tanjung Periok, Jakarta (detik.com).
Setiap jamaah yang akan berangkat melaksanakan ibadah haji terlebih dahulu dilakukan karantina selama 1 bulan di pulau Rubiah tersebut. Karantina haji di Pulau Rubiah dilakukan untuk memastikan bahwa jamaah haji tidak membawa penyakit, dan sebelum adanya vaksin, orang yang akan berangkat dan pulang dari luar negeri dianggap membawa penyakit. Oleh karena itu, setiap jamaah wajib dikarantina dengan tujuan terbebas dari wabah penyakit. Setelah di karantina, calon jamaah haji dinaikkan ke kapal uap besar untuk berlayar menuju negeri Yaman atau India yang menghabiskan waktu sekitar 19-25 hari. Dari sanalah perjalanan darat menaiki unta dimulai, bisa 20-30 hari tergantung cuaca dan kesehatan fisik.
1. Bangunan bekas karantina jamaah haji masa kolonial.
Salah satu tantangan terbesar adalah logistik
perjalanan. Transportasi pada masa itu masih terbatas, dan perjalanan menuju
Makkah pada masa kolonial dapat memakan waktu berbulan-bulan, tergantung pada
rute yang diambil dan moda transportasi yang tersedia. Para jamaah haji sering
menghadapi risiko kesehatan, kelaparan, dan serangan dari perampok selama
perjalanan mereka. Kapal-kapal yang digunakan untuk angkutan haji sering terinfeksi
penyakit menular, dan beberapa jemaah haji bahkan meninggal dunia selama
perjalanan. Pada tahun 1912, misalnya, dari 18.535 pribumi yang berangkat
haji, 2.634 di antaranya meninggal dunia (detik.com). Bisa juga
menetap di Tanah Suci, dan pulang ke Indonesia tidak bisa ditentukan waktunya.
Jenazah yang meninggal
di kapal punya cerita tersendiri dalam upaya pemakamannya. Ada yang
ditenggelamkan dengan kepingan baja dan timah seberat 30-50 kg. Ada juga yang
dilepas ke laut dibiarkan terombang-ambing di samudera. Tentunya, semua itu
dilakukan setelah mendapat perlakuan selayaknya jenazah muslim, mulai dari
disholatkan, dimandikan, dan dikafankan (ihram.co.id).
Sebenarnya, pada tahun
1964, Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nasional Indonesia, telah mulai
mengoperasikan penerbangan khusus haji. Namun, pada saat itu, penggunaan
pesawat masih terbatas dan tidak setiap jamaah haji menggunakan pesawat untuk
perjalanan ke Tanah Suci.
Pada tahun 1970-an,
penggunaan pesawat untuk perjalanan haji semakin umum di kalangan jamaah haji
Indonesia. Garuda Indonesia dan maskapai penerbangan lainnya mulai
mengoperasikan lebih banyak penerbangan khusus haji untuk memenuhi permintaan
yang meningkat dari masyarakat.
Pada tahun 1980-90an, penggunaan pesawat untuk perjalanan haji semakin menjadi pilihan utama bagi jamaah haji Indonesia. Penerbangan khusus haji semakin banyak dioperasikan oleh berbagai maskapai penerbangan, dan fasilitas-fasilitas khusus untuk jamaah haji juga semakin dikembangkan di bandara-bandara utama di Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia terus meningkatkan layanan dan fasilitas untuk mendukung perjalanan haji yang lancar dan aman. Dan, hingga saat ini semua perjalanan ibadah haji semakin mudah, nyaman, dan lancar.
Leave a Comment