| 0 Comments | 56 Views
Malam itu, aku memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri Nizami Street—jalan utama di tengah kota Baku yang menjadi nadi kehidupan komersial dan sosial masyarakat Azerbaijan. Udara sudah turun derajat, angin laut Kaspia berembus perlahan dari kejauhan. Dan seperti banyak kota tua lainnya, Baku di malam hari berubah menjadi sesuatu yang lebih puitis.
Nizami Street memang tidak benar-benar sepi. Tapi keramaiannya berbeda dari siang hari. Tidak ada lagi lalu-lalang terburu-buru, suara kendaraan dibungkam oleh larangan masuk mobil, dan lampu-lampu toko yang di siang hari menantang mata kini hanya menjadi latar lembut untuk manusia yang berjalan tanpa beban.
Aku melangkah perlahan, menyusuri batu-batu granit yang disusun rapi sejak akhir abad ke-19, ketika kota ini mulai tumbuh pesat karena booming minyak. Arsitektur Eropa bergaya Baroque dan Neoklasik menyelimuti sisi kiri dan kanan jalan. Bangunan-bangunan itu berdiri kokoh, seolah menolak dilupakan sejarah.
Nama jalan ini diambil dari Nizami Ganjavi, penyair sufi besar dari abad ke-12 yang lahir di Ganja—salah satu kota tertua di wilayah Kaukasus. Ia menulis puisi-puisi filosofis dalam bahasa Persia, tentang cinta, akhlak, dan kebijaksanaan hidup. Rasanya ada yang cocok antara puisinya yang hening dengan suasana jalan ini di malam hari.
Nizami mungkin tidak pernah membayangkan bahwa berabad-abad setelah kematiannya, namanya akan terpajang di jalan paling kosmopolitan di sebuah kota modern. Tapi justru di sinilah menariknya kota seperti Baku: ia terus berganti wajah, tapi selalu menyelipkan nama-nama lama di sela-sela kehidupan baru.
Di pojok jalan, aku melihat seorang pemuda memainkan biola. Nada-nada Azeri meluncur pelan, mengisi ruang udara yang nyaris kosong. Tak banyak yang berhenti mendengar, tapi ia terus bermain. Mungkin bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. Atau mungkin juga untuk kota ini, yang terlalu sering lupa pada seninya sendiri.
Aku berhenti di depan toko buku kecil yang masih buka. Rak-raknya berisi literatur lokal dan internasional, dari Dostoyevsky sampai puisi-puisi Nizami sendiri. Toko itu seperti pengingat: meskipun segala sesuatu tampak modern, ruh intelektual kota ini masih hidup—meskipun lebih pelan, lebih tersembunyi.
Ada sesuatu yang magis di malam hari: ketika cahaya tidak datang dari matahari, tapi dari lampu yang dipasang manusia. Dan di bawah cahaya buatan itu, kita merasa lebih jujur. Langkah kaki terasa lebih berat, pikiran lebih terbuka, dan hati lebih mudah menyimak hal-hal kecil yang biasanya terlewatkan di siang hari.
Nizami Street bukan sekadar jalan belanja atau lokasi foto turis. Ia adalah koridor sejarah, tempat berbagai peradaban bersilang: Persia, Turki, Rusia, Soviet, dan sekarang—kapitalisme global. Semua lapisan itu bisa dirasakan di malam hari, ketika jalan ini tidak sibuk menampilkan diri, tapi hanya menjadi dirinya sendiri.
Aku sempat duduk di salah satu bangku besi yang berjejer rapi di tepi jalan. Dari sana, aku melihat dua wanita paruh baya berjalan pelan sambil berbincang dalam bahasa Rusia. Tak lama, seorang anak muda melewati mereka dengan hoodie dan headphone besar. Dua dunia, dua generasi, dua bahasa—berbagi jalan yang sama.
Di banyak kota lain, malam bisa berarti ketakutan atau kehampaan. Tapi di Baku, terutama di jalan ini, malam justru membawa rasa tenang. Ada semacam kesepakatan diam bahwa ini waktunya memperlambat. Bukan untuk berhenti, tapi untuk mengendap. Untuk membiarkan segala yang keras di siang hari menjadi lembut.
Aku membayangkan jalan ini di era Soviet, ketika nama dan suasananya pasti sangat berbeda. Dulu mungkin ada patung Lenin, spanduk propaganda, dan wajah kota yang diawasi ketat. Sekarang semua itu digantikan oleh etalase produk global dan turis mancanegara. Tapi jejak masa lalu tetap terasa, menyelinap dari raut bangunan dan gaya jalan.
Yang kupelajari malam itu bukan tentang kota, tapi tentang cara kota menghadirkan dirinya kepada manusia. Nizami Street tidak menawarkan hiburan agresif, tapi mengajak pelan-pelan. Ia tidak memaksa kita untuk mengerti sejarah, tapi membiarkan kita menyerap atmosfernya. Dan itu, bagiku, jauh lebih bermakna.
Setelah 2-3 jam berjalan dan berdiam di salah satu bangkunya, aku mulai kembali ke arah apartemen. Jalan sudah mulai lebih lengang. Lampu-lampu tetap menyala, seperti mata kota yang belum mau terpejam. Dan di dalam diriku, ada semacam rasa ringan. Bukan karena menemukan sesuatu yang besar, tapi karena diberi ruang untuk tidak merasa tergesa.
Malam di Nizami Street bukan pengalaman monumental. Tapi justru karena kesederhanaannya, ia terasa dalam. Kota yang dulu berisik oleh revolusi dan pasar kini memberikan sepotong malam yang tenang. Cukup untuk mengingatkan bahwa sejarah kadang tidak tinggal di museum, tapi hidup di jalanan. Diam, tapi berbicara.
Langkahku sirna di trotoar batu alam yang sunyi,
tapi rinduku nyata pada cahaya yang tak bisa kulihat, hanya bisa kurasa.
Leave a Comment