| 0 Comments | 17 Views
Siang itu, matahari di ujung barat Indonesia bersinar terik, tapi laut tetap tampak biru tua dan menenangkan. Aku berdiri di hadapan tugu Titik Nol Kilometer di Sabang, tempat di mana negeri ini secara simbolik dimulai. Di sinilah garis awal imajiner yang menjadi rujukan ribuan kilometer perjalanan darat dari barat ke timur, dari Sabang sampai Merauke.
Angin dari Samudera Hindia datang lembut membawa aroma garam dan pohon-pohon yang merunduk. Tak banyak pengunjung siang itu, hanya beberapa orang yang sibuk berfoto dan seorang penjaja kelapa muda yang duduk tenang di bawah pohon. Aku memilih diam sejenak, menatap prasasti dan tugu yang berdiri kokoh, sambil membayangkan: bagaimana rasanya menjadi "titik awal"?
Sebagai musafir, datang ke tempat ini tak ubahnya ziarah ke akar. Kota Sabang bukan hanya kota terujung—ia adalah lambang bahwa negeri ini bermula dari laut. Bahkan sejak masa Aceh Darussalam, lautlah yang menjadi ruang perjumpaan, medan dakwah, dan jalur dagang. Dari laut pula para pendakwah pertama menjejak, menyebarkan Islam dan aksara dari Gujarat hingga Timur Tengah.
Tugu ini memang baru berdiri tahun 1997, tapi makna yang diusung jauh lebih tua dari prasastinya. Di sinilah kita diingatkan bahwa bangsa ini bukan sekadar daratan yang terbentang, tapi juga ikatan psikologis: bahwa kita dimulai, dan karena itu kita terus berjalan.
Aku mendekat ke pelataran dan menyentuh dinding prasasti dengan pelan. Bukan karena percaya akan ada energi mistis mengalir, tapi karena ingin merasakan tekstur waktu—kerasnya batu yang menyimpan narasi, kokohnya sejarah yang tetap diam di tengah dunia yang bergerak.
Langit biru terbelah oleh suara elang laut yang melintas, seolah ikut mengawal tapal batas negeri. Di titik ini, yang konon paling barat, aku justru merasa bahwa Indonesia tak punya arah yang tunggal. Sebab tiap daerah adalah awal bagi seseorang, tergantung dari mana ia memulai.
Banyak peziarah kemerdekaan pernah sampai ke sini. Mereka menyebutnya bukan hanya sebagai "titik nol", tapi juga sebagai tempat pembuka niat. Ada sesuatu yang simbolik dalam memulai dari sini—seolah menantang diri untuk tak hanya berdiri, tapi melangkah sejauh mungkin dari tempat terjauh.
Pohon-pohon cemara laut menari pelan, dan suara debur ombak mengingatkanku bahwa negeri ini dijaga oleh air. Bahwa batas kita bukan pagar, melainkan pelabuhan—yang membuka, bukan menutup. Sabang adalah bukti, bahwa bangsa ini sejak awal ditakdirkan untuk terbuka pada dunia.
Aku duduk sebentar di tepi pagar, memandang hamparan laut luas yang tiada ujung. Laut yang sama pernah dilayari armada perang, kapal niaga, bahkan perahu nelayan yang sekadar mencari makan. Semuanya dimulai dari sini, entah untuk menaklukkan dunia atau sekadar menenangkan diri.
Titik nol ini sunyi, tapi tidak sepi. Ia menyimpan terlalu banyak langkah yang telah dimulai, terlalu banyak doa yang pernah dibisikkan di antara desir angin dan gemuruh samudera.
Di titik pertama aku berdiri,
menyadari: negeri ini tak pernah selesai dimulai kembali.
Leave a Comment