| 0 Comments | 861 Views
Idul Adha sebentar lagi, sudah menjadi ritual sunnah umat Islam ketika mendekati bulan ini dengan bersiap-siap untuk menjadi sohibul qurban. Tentu saja ini semua termotivasi dengan pahala yang berlimpah yang siap diterima sohibul qurban yang mau merelakan sebagian hartanya digunakan untuk membeli seekor kambing atau patungan membeli sapi. Tidak hanya itu, seorang muslim yang mampu secara ekonomi akan mendapat ancaman dari Nabi Muhammad jika meninggalkannya.
مَن كانَ لَهُ سَعةٌ ، ولم يضحِّ ، فلا يقربنَّ
مُصلَّانا
Siapa yang memiliki kelonggaran (harta) dan tidak
berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati musola kami. (HR Ibnu Majah)
Tidak
jarang, orang yang sudah meninggal pun didapati akan menjadi sohibul
qurban dalam daftar panitia idul adha di masjid-masjid sekitar tempat
tinggal masyarakat demi mendapatkan pahala yang dijanjikan dalam hadis Nabi.
Dalam kajian-kajian fiqih, sebenarnya orang yang sudah meninggal dunia tidak
disyariatkan untuk berkurban, karena kurban adalah ibadah sunnah untuk orang
yang masih hidup. Adapun orang yang sudah meninggal, tidak ada lagi anjuran
untuk beribadah kurban.
Dalam
beberapa literatur fiqih, orang yang sudah meninggal dunia, wajib berkurban
dalam dua hal. Pertama, ketika sebelum meninggal ia berwasiat
kepada ahli warisnya agar sebagian hartanya digunakan untuk berkurban atas nama
dirinya. Kedua, ketika sebelum meninggal ia bernazar akan
berkurban pada bulan idul adha, tetapi qadarullah, usianya tidak
panjang, dan meninggal sebelum hari raya idul adha. Ketika mengalami dua hal
ini, hukum berkurban tidak hanya sunnah, tetapi wajib bagi orang yang sudah
meninggal tersebut. Terkait hal ini, Imam Nawawi dalam Minhaj
ath-Thalibin berkata:
وَلَا
تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، وَلَا عَنْ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ
يُوصِ بِهَا
“Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan
izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk
qurban tersebut.”
Imam an-Nawawi juga mengutip pendapat dari Abu al-Hasan al-Abbadi dalam Al-Majmu’,
(وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ
أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ
وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ
بِالْإِجْمَاعِ
Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu Al-Hasan Al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah. Sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijmak para ulama.”
Dalil yang melatarbelakangi kebolehan ini
adalah hadits umum,
إِذَا مَاتَ اِبْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ
مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٌ
صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia meninggal dunia, maka amalannya
terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya,
atau anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya.” (muttafaq alaih)
Dari
penjelasan di atas, sebenarnya tidak ada anjuran berkurban bagi orang yang
sudah meninggal dunia, selain yang memiliki dua kasus di atas: berwasiat atau
bernadzar. Bahkan, ini hukumnya wajib, bukan sunnah. Namun, apabila ahli waris
ingin memberi pahala kepada keluarganya yang sudah meninggal dunia, yang tidak
termasuk pada dua kategori di atas, ia tetap bisa berkurban atas nama si
mayit tersebut, tetapi statusnya sebagai sedekah sunnah, sebagaimana
hadis tentang tiga amal si mayit yang terus mengalir di atas.
Yang jadi permasalahan dalam fiqih, ketika status kurban orang yang sudah
meninggal ini hanya sebatas sedekah biasa, bagaimana jika ia ikut patungan
dalam seekor sapi. Padahal, untuk berkurban satu ekor sapi, membutuhkan 7 sohibul
qurban, sebagaimana dalam Al-Mustadrak karya Imam Al-Hakim, Ibnu
Abbas mengisahkan:
كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفَرٍ فَحَضَرَ النَّحْرُ فَاشْتَرَكْنَا فِي اْلبَقَرَةِ عَنْ سَبْعَةٍ
Artinya: Kami pernah berpergian
bersama Rasulullah SAW, lalu hari nahar (hari raya Idul Adha) datang. Akhirnya,
kami patungan membeli seekor sapi sebanyak tujuh orang untuk dikurbankan. (HR
Al-Hakim).
Bagaimana
jika dalam salah satu dari tujuh sohibul qurban ini ada orang
yang sudah meninggal yang tidak ada anjuran berkurban? Dan, tentunya statusnya
adalah pemberi sedekah biasa, bukan sohibul qurban! Artinya, satu
ekor sapi tersebut satu bagiannya (1/7 nya) milik orang yang bersedekah (orang
yang sudah meninggal), bukan sohibul qurban. Sementara yang
akan disembelih tidak utuh satu ekor sapi, hanya 6/7 bagian. Tentunya, keadaan
seperti ini bisa mengurangi wujud utuhnya seekor sapi, yang dalam hadis dikatakan
1 ekor sapi, untuk 7 orang sohibul qurban. Jika diilustrasikan, 1 ekor sapi tersebut bagian paha depan milik 1 orang yang bersedekah (atas nama almarhum), sedangkan bagian lainnya milik 6 orang sohibul qurban, yang tentu wujud sapi ini tidak sempurna. Beda halnya jika satu sapi utuh untuk kurban 6 orang atau bahkan untuk 1 orang, tentu wujud sapi tersebut sempurna, dan ini tidak menjadi masalah.
Untuk terhindar dari keragu-raguan dalam sah tidaknya kurban patungan yang di
dalamnya terdapat orang yang sudah meninggal, sementara di sisi lain ada pula
yang menganggap meskipun kurban atas nama orang yang sudah meninggal termasuk
ibadah kurban (bukan sedekah biasa), ada baiknya sang keluarga tidak
mengikutsertakan nama orang yang sudah meninggal tersebut dalam daftar patungan
sapi. Hal ini mengikuti kaidah ushul fiqh:
الخروج
من الخلاف مستحبّ
“Keluar dari perselisihan itu dianjurkan”
Dengan demikian, agar tetap bisa mendapat pahala sedekah seperti yang
dianjurkan oleh jumhur ulama, dan membuat keragu-raguan dalam hukum kurban
patungan sapi, kurban seeokor kambing atau domba adalah alternatif terbaik
untuk sohibul qurban yang sudah meninggal dunia.
Waallahu a’lam
Leave a Comment