| 0 Comments | 34 Views
Di atas air yang berkilat siang,sejarah mengambang—ringan namun tak hilang.
Hari itu matahari Palembang bersinar penuh. Langit nyaris tak berawan, dan Sungai Musi memantulkan cahaya seperti cermin yang digerakkan angin. Aku berdiri di dermaga kecil, menunggu perahu kayu yang akan membawaku menyeberang ke Pulau Kemaro. Suasana siang membuat segalanya lebih gamblang—warna air, suara perahu mesin, tawa anak-anak di tepian.
Tapi seperti biasa, di balik riuh cahaya itu, aku mencari diam. Sungai Musi, sepanjang hampir 750 kilometer, bukan sekadar sungai. Ia saksi bisu naik-turunnya Sriwijaya, kerajaan maritim yang pernah mengajarkan dunia bahwa Islam dan Buddha bisa bersisian di bawah satu pelayaran. Setiap kali aku memandang Musi, yang kulihat bukan air, melainkan naskah panjang yang belum sepenuhnya terbaca. Perahu bergoyang pelan membelah sungai, melewati tongkang-tongkang batu bara dan rumah-rumah panggung di tepian. Angin siang membawa aroma khas sungai tropis—sedikit amis, sedikit lembab, tapi ada kejujuran di dalamnya. Di kejauhan, pagoda merah Pulau Kemaro mulai terlihat, berdiri gagah seperti penanda waktu yang enggan runtuh.
Begitu menginjakkan kaki di pulau, aku disambut oleh riuh rombongan ziarah dan pengunjung. Beberapa berdoa di kelenteng, beberapa lainnya memotret, anak-anak berlari-lari mengejar bayangannya sendiri. Aku memilih menjauh sedikit, duduk di bawah pohon kamboja tua yang tak banyak berubah sejak pertama kali aku ke sini, bertahun-tahun lalu.
Pulau ini menyimpan legenda cinta: antara Putri Palembang dan saudagar Tionghoa. Tapi lebih dari itu, pulau ini menyimpan fakta bahwa Palembang adalah simpul sejarah perdagangan dan budaya. Di sinilah budaya Melayu, Tionghoa, dan Arab berdialog melalui cangkir teh, kayu manis, dan kitab suci. Tak heran jika orang menyebutnya "pulau perjumpaan".
Aku merenung sambil memegang sebutir batu kecil dari tanah pulau. Entah kenapa, setiap kali menyentuh tanah seperti ini, aku merasa lebih dekat dengan sejarah. Sejarah yang bukan milik orang besar saja, tapi milik orang biasa yang pernah berjualan buah di sini, atau menyeberangkan anaknya ke seberang untuk sekolah.
Dalam panas siang itu, aku berpikir tentang bagaimana air dan pulau bisa mengajari manusia tentang batas dan pertemuan. Sungai Musi memisahkan kota dan pulau, tapi juga menyatukan lewat aliran. Seperti hidup: kadang kau harus menyeberang agar tahu di mana tempatmu berdiri.
Waktu berjalan cepat. Perahu kembali siap, dan aku pun harus undur diri dari pulau kecil yang diam-diam menanamkan makna. Dari kejauhan, ketika aku menengok ke belakang, Pulau Kemaro terlihat seperti tanda koma dalam kalimat panjang kota Palembang. Ia kecil, tapi membuat kalimatnya bernapas.
Siang belum usai, tapi jiwaku sudah penuh. Aku tahu, ini bukan kunjungan terakhir. Karena tempat seperti ini bukan cuma untuk dikunjungi, tapi untuk direnungi, lalu dibawa pulang ke dalam ingatan.
Di sungai yang tak pernah lupa arah,pulau-pulau kecil mengajarkan makna singgah.Menara Pagoda di Pulau Kemaro, Palembang
Leave a Comment