| 0 Comments | 176 Views

Card Image

suasana depan makam Syiah Kuala (Kuala, Aceh Besar, 18 Mei 2024)

ZIARAH KE MAKAM PENAFSIR ALQURAN PERTAMA DI INDONESIA

Penafsir Al-Qur’an pertama di Indonesia adalah Abdurrauf as-Singkili, yang menulis karya tafsir berjudul "Tarjuman al-Mustafid" pada abad ke-17. Karya ini terbit dalam bahasa Melayu dan masih dapat dijumpai hingga saat ini. Buku tafsir ini diterbitkan di Jakarta pada 1984 dan juga dikenal di kalangan Muslim mancanegara, dicetak dan diterbitkan di Istanbul, Singapura, Penang, Bombay, Afrika Selatan, dan kawasan Timur Tengah seperti Kairo dan Makkah.

Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Syeikh Abdur Rauf as-Singkili merupakan terjemahan bahasa Melayu dengan aksara pegon dari Tafsir "Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil" atau "Tafsir al-Baidhawi". Kitab ini ditulis oleh Imam Al-Baidhawi, yang memiliki nama lengkap Nashiruddin Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidhawi As-Syairazi (jika dilihat dari keterangan pada cover tafsir). Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Tarjumanul Mustafid merupakan terjemahan Tafsir Jalalain yang sudah mengalami modifikasi.

Mufassir Aceh ini memiliki nama lengkap Syekh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Singkili. Beliau lahir pada tahun 1615 M di Singkil, Aceh, dan wafat pada tahun 1693 M di Kuala Aceh. Gelarnya yang terkenal adalah Teungku Syiah Kuala. Kata "Syiah" tidak merujuk pada Islam Syiah, melainkan kata yang disadur dari bahasa Arab, yaitu syekh yang dalam bahasa Aceh berarti "Syekh Ulama di Kuala." Nama "Syiah Kuala" tidak digunakan sebagai nama pribadi, tetapi sebagai gelar yang diberikan berdasarkan lokasinya di Kec. Kuala, Aceh, sekitar 5 km dari jantung kota Banda Aceh. 

Komplek Makam Syiah Kuala mengalami kerusakan parah saat tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004. Seluruh kompleks pemakaman rusak, tetapi makam Syeikh Abdur Rauf As-Singkili sendiri tidak mengalami kerusakan. Makam Syiah Kuala tetap utuh saat tsunami karena beberapa faktor. Pertama, struktur bangunan makam yang kuat dan kokoh tidak rusak akibat gelombang tsunami. Kedua, letak makam yang relatif jauh dari pantai, hanya 100 meter dari pantai sebelum tsunami, sehingga tidak terlalu terpengarui oleh ombak besar. Ketiga, beberapa penduduk setempat mengatakan bahwa gelombang tsunami surut ketika melewati makam ini, sehingga tidak menyebabkan kerusakan yang signifikan. Namun demikian, Penjaga makam, Tgk Abdul Wahid, mengatakan bahwa kompleks makam harus dibangun kembali setelah tsunami untuk menjaga cagar budaya.


tampak kondisi makam beberapa hari pasca digulung tsunami



Leave a Comment